EKONOMI – Gempuran Covid-19 yang belum mampu diredam, mulai membuat roda perekonomian bangsa mulai bergerak pelan. Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah yang paling merasakan dampak negatifnya.
Lewat Kemenkop, Pemerintah terus berupaya mencari solusinya. Sedikitnya ada delapan program yang disiapkan guna membantu UKM. Pertama, pemerintah akan mengajukan stimulus daya beli produk UMKM dan koperasi. Dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo telah disetujui angkanya sekitar Rp2 triliun.
[irp]
Program kedua, Kemenkop UKM mendukung dan mengefektifkan imbauan social distancing tapi dalam waktu bersamaan juga warung-warung bisa berjalan dengan baik usahanya. Program itu berupa program yang melibatkan warung tetangga bekerjasama dengan 9 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kluster pangan dan kelompok masyarakat untuk mendorong gerakan sosial.
Program ketiga adalah restrukturisasi dan subsidi suku bunga kredit usaha mikro. Program keempat berupa restrukturisasi kredit yang khusus bagi koperasi melalui LPDB KUMKM. Sementara itu program kelima, Kemenkop UKM juga mendorong penyediaan masker untuk semua baik bagi tenaga medis maupun masyarakat umum dan mengajak UMKM di berbagai daerah untuk memproduksi.
[irp]
Kemenkop dan UKM juga mempertemukan koperasi dan UMKM produksi dengan offtaker masker, hand sanitizer, dan alat pelindung diri (APD) yang dibutuhkan tenaga kesehatan saat ini. Sementara program keenam, sektor mikro yang jumlahnya cukup banyak dan paling rentan terdampak Covid-19 akan dimasukan dalam klaster penerima kartu Prakerja untuk pekerja harian.
Program ketujuh, bantuan langsung tunai kepada UKM. Program kedepan terkait dengan pajak, Kemenkop UKM mengusulkan Pph 21, pajak penghasilan impor, Pph 25, restitusi pertambahan nilai bisa direlaksasi untuk KUMKM.Kedelapan langkah mitigasi ini diharapkan membawa dampak ekonomi positif terhadap pelaku KUMKM.
[irp]
Merespon rencana kedelapan program ini, pengamat bisnis UMKM, Khaidir MY punya pemikiran lain dalam membantu memperkuat UKM saat ini. “Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) membeli aset-aset masyarakat UKM, baik berupa asset (properti) yang berada diperbankan sebagai jaminan kredit maupun asset-aset (properti) lainnya yang ingin dijual oleh masyarakat untuk kebutuhan usaha,” kata Khaidir.
Untuk membelinya, lanjut Khaidir, Pemerintah dan Bank Indonesia dapat mencetak uang untuk membeli asset-asset masyarakat UKM dengan underlaying dari Aset-aset yang dibeli tersebut. “Nanti setelah kondisi membaik, asset-aset tersebut dapat dijual kembali oleh Pemerintah dan Bank Indonesia kepada masyarakat,” usul Khaidir.
Menurut Khaidir, untuk melakukan ini, pemerintah tidak perlu menambah hutang untuk membeli asset-asset tersebut. Khaidir mencontohkan kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) untuk Perbankan Nasional yang mengalami kesulitan cashflow pada tahun 1997/1998. “Program sejenis juga dijalankan pemerinta untuk menyelamatkan Bank Mutiara dan Bank lainnya beberapa waktu yang lalu,” jelas Khaidir. Kondisi yang dialami oleh masyarakat dan pengelola UKM di tengah Covid 19 saat ini, sama dengan kesulitan perbankan saat krisis yang akhirnya diselematkan pemerintah.
[irp]
“Sekarang kita mengalami krisis likuiditas juga, terutama sektor UKM yang dalam kondisi normal saja tabungannya sangat minim atau tidak ada, bahkan sudah gali lubang tutup lubang,” kata Khaidir.
Jika tujuan BLBI atau sejenisnya kepada Perbankan dilakukan karena berdampak sistemik, dampak sistemik yang yang dihadapi UKM kemungkinan terjadi bisa lebih besar dari pada dampak sistemik Perbankan. “Sebanyak 97% ekonomi negara kita ini di topang oleh UKM. Jika tidak diselamatkan pemerintah, bisa meluas ke krisis sosial yang tentunya tidak kita harapkan,” sambungnya. Jika Pemerintah dan Bank Indonesia mau membantu Perbankan yang pemiliknya para konglomerat, sudah selayaknya Pemerintah dan Bank Indonesia juga menyelematkan masyarakat UKM untuk menyehatkan keuangan usaha mereka.
[irp]
Di mata konsultan UKM ini, bantuan Pemeritah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan seperti yang sudah digulirkan selama ini yaitu berupa Bantuan Tunai Langsung, Kartu-kartu pra sejahtera dan sejenisnya, lalu relaksasi angsuran kredit, keringanan pajak bahkan ada bantuan anguran kredit yang dilakukan Pemerintah saat ini, tentu sudah baik. Masyarakat UKM harus berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia dan segenap Pihak yang terkait. “Kami ingin mengusulkan kepada Pemerintah dan Bank Indonesia, model lain yang bisa dilakukan,” usulnya.
Caranya seperti yang dijelaskan di atas, Pemerintah dan Bank Indonesia membeli aset-aset masyarakat UKM baik berupa asset (properti) yang berada diperbankan sebagai jaminan kredit maupun asset-aset (properti) lainnya yang ingin dijual oleh masyarakat untuk kebutuhan usaha. Dengan cara ini, pinjaman UKM bisa lunas, dan tidak ada beban hutang yang terus menerus. Pengusaha UKM juga tidak akan masuk daftar hitam kredit macet OJK. “Kebihan dari nilai asset dapat dijadikan UKM sebagai modal kerja/modal dagang kembali sehingga ekonomi bisa bergulir kembali,” jelas Khaidir.
[irp]
Selain itu, lewat program ini, Pemeritah dapat mengganti atau mengurangi program bantuan relaksasi dan atau menanggung angsuran kredit untuk beberapa bulan kedepan. Sementara itu, Perbankan sebagai pemberi kredit juga sehat karena kredit macet dari UKM selesai.
Memang, masalahnya Pemerintah tidak mempunyai cadangan dana yang besar untuk membackup program ini. Jalan keluarnya pemerintah bisa mengambil policy mencetak uang ( quantitive easing) dengan konsekwensi terjadi inflasi serta fluktuasi tekanan atas nilai tukar. Rupiah bisa anjlog diatas Rp. 20 ribu bahkan lebih terhadap US Dollar. Jika ini terjadi, recovery economy yang dilakukan bisa membutuhkan waktu panjang pasca krisis covid. Bahkan jika tidak diansisipasi, Indonesia bisa masuk dalam jebakan kubangan The Fail State. “Dibutuhkan leadership seorang Presiden dalam mengambil keputusan ini,” katanya.
[irp]
Namun, menurut Khaidir masyarakat UKM tidak memerlukan dana tunai sebesar nilai penjualan propertinya. “Apalagi semua dana hasil penjualan properti tersebut tetap berada di rekening bank. Masyarakat UKM hanya menggunakan secukupnya saja,” jelasnya. Artinya, Pemerintah tidak perlu harus mencetak uang dalam jumlah besar. “Cukup sebagian saja, sisanya Pemerintah hanya perlu menerbitkan peraturan pemerintah sabagai ganti dana setoran tunai dari Pemerintah untuk keperluan tersebut,” saran Khaidir.