NASIONAL – Dari perkembangan kondisi terkini penyebaran dan dampak wabah COVID-19 terhadap kinerja bisnis pasar hotel & restoran, diperkirakan lebih buruk dibandingkan dengan wabah penyakit serupa seperti SARS pada 2003 dan H5N1 pada 2016. Kinerja bisnis hotel dan restoran bakal merugi jika melihat efek domino yang muncul. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PHRI, Haryadi Soekamdani.
Tingkat occupancy rate 1-14 Maret 2020 secara nasional telah berada di bawah 50%. Kenyataan ini dpastikan akan membuat sektor hotel mengalami kesulitan cash flow dan kerugian.
Penurunan occupancy rate sejumlah hotel yang sangat tajam muncul sejak dikeluarkannya Nota Dinas dari beberapa Kementerian dan Lembaga yang memberikan instruksi untuk tidak mengadakan rapat atau acara yang mengumpulkan orang banyak. “Padahal segmen pasar pemerintah bagi sektor hotel sangat dominan di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Haryadi.
Menurut bos Sahid Group dan Ketua Umum Apindo ini, kondisi cash flow sektor hotel semakin menyusut sehingga kemampuan untuk membayar kewajiban kepada perbankan, pajak (pajak pemerintah pusat, pajak & retribusi daerah), iuran BPJS Ketenagakerjaan, iuran BPJS Kesehatan dan biaya operasional (gaji karyawan, supplier bahan baku, listrik, air, telepon dan lain-lain) menjadi melemah. “Bahkan tidak menutup kemungkinan gagal bayar bila pemerintah tidak melakukan kebijakan untuk mengantisipasinya,” tegas Haryadi.
[irp]
Dengan tingkat occupancy yang kini berada -25% hingga -50%, juga menekan average room rate berada hanya di angka -10% hingga -25%. Hal ini membuat total revenue hampir semua hotel kini menurun -25% hingga -50%
Pada saat ini sejumlah menajemen hotel mulai membicarakan kemungkinan terburuk kepada karyawan untuk mengurangi biaya tenaga kerja yaitu dengan mengatur giliran kerja/merumahkan sebagian karyawan, mengurangi jam kerja, menghentikan pekerja harian serta kemungkinan pembayaran THR yang tidak utuh.
0 Responses