Property & Bank

Gawat, Rusun Non Hunian Terancam Tak Bersertifikat

Aturan tak jelas, membuat bisnis properti terhambat
Aturan tak jelas, membuat bisnis properti terhambat

HUKUM-Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan, terutama demi kelangsungan industri properti. Karena, jika peraturan yang dikeluarkan tanpa memperhatikan dampak buruknya, maka dipastikan akan mempengaruhi pertumbuhan bisnis properti ditengah perekonomian yang juga masih lesu.

Demikian disampaikan Ketua Pusat Studi Hukum Properti Indonesia, Erwin Kallo, menanggapi surat yang dikeluarkan Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kementerian Perumahan Rakyat, Maharani, yang ditujukan untuk Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, pada 30 Desember 2014. Menurut Erwin, surat tersebut sangat meresahkan, terutama bagi pembeli hunian non-rumah susun, yaitu strata mal, perkantoran, dan trade center.

Dijelaskan Erwin, dengan surat tersebut, maka pembeli strata office, strata trade center dan strata mall terancam tidak dapat memiliki sertifikat hak milik (SHM) satuan rumah susun (sarusun). Sementara bagi pihak perbankan, akan terancam kehilangan Hak Tanggung, padahal kredit konstruksi dan kredit pemilikan sarusun telah dikucurkan.

“Ini aneh sekali dan sangat janggal. Mulai dari kop surat yang masih menggunakan Kementerian Perumahan Rakyat yang seharusnya sudah berubah menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat karena tertanggal 30 Desember 2014. Kabinet kerja Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla mulai dilantik pada September 2014 yang kemudian menyatukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dengan demikian, Kementerian Perumahan Rakyat dinyatakan sudah tidak ada,” jelas Erwin.

Oleh karena itu, Erwin meragukan surat tersebut karena, umumnya, hanya menteri atau pelaksana tugas menteri yang bisa mengeluarkan surat keputusan atau kebijakan. Terdapat kejanggalan substansial pada isi surat poin kedua bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun tetap berlaku, kecuali ketentuan mengenai fungsi rumah non-hunian. Kedua hal itu dimaknai sebagai sesuatu yang bertentangan.

Dari sisi bisnis, menurut Erwin, dampak surat tersebut sangat bertentangan dengan program Presiden Joko Widodo yang ingin menciptakan iklim investasi bagi investor asing. Hal ini dapat menghambat proyek bangunan vertikal. Banyak investor asing yang ikut berdampak dengan adanya peraturan tersebut.

“Ini merupakan bentuk dari kegagalan birokrasi. Kejadian ini dapat merusak kepastian hukum di Indonesia. Seharusnya dari awal tidak diberi perijinan jika pada akhirnya ada aturan yang justru malah menghambat. Tak sedikit investasi yang tertahan akibat dari surat tersebut,” jelas notaris senior Buntario Tigris, SH, SE, MH.

Oleh karena itu, Erwin dan Buntario menghimbau agar Kementerian PUPERA segera mengevaluasi surat yang ditujukan tersebut dan berharap, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta, yakni pihak kedua yang dikirimi surat oleh Maharani, tidak menggubrisnya. “Menteri PUPERA sebaiknya mengontrol dan mengawasi kapasitas dan kapabilitas bawahannya, terutama orang-orang Biro Hukumnya, karena Biro Hukum merupakan bagian yang sangat vital dan strategis bagi suatu kementerian,” tukas Erwin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini