Propertynbank :Indonesia harus waspada dan memantau, terkait perkembangan ekonomi global. Terutama mengenai isu mata uang BRICS yang ditentang Donald Trump terpilih Amerika Serikat. Trump, mengancam akan memberlakukan tarif impor sebesar 100 persen selama masa kepemimpinannya terhadap negara-negara BRICS jika mereka tetap berencana menciptakan mata uang bersama.
“Kami menuntut komitmen dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan Mata Uang BRICS baru, atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan Dolar AS yang perkasa atau, mereka akan menghadapi tarif 100%, dan harus siap mengucapkan selamat tinggal pada penjualan ke Ekonomi AS yang luar biasa.” Ujar Trump di platform Truth Social.
Seperti diketahui, mata uang BRICS merupakan konsep mata uang bersama yang sedang dirancang oleh negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) dengan tujuan untuk menggantikan dominasi dolar AS dalam ekonomi global.
Uang tersebut digadang-gadang menjadi pengganti dolar Amerika Serikat, yang digunakan sebagai alat pembayaran resmi para negara anggota BRICS
Mata uang ini dirancang untuk mendukung perdagangan dan investasi antarnegara anggota, sekaligus mengurangi risiko akibat fluktuasi nilai tukar dolar. Hingga saat ini, dolar AS masih menjadi mata uang dominan dalam perdagangan internasional, bahkan digunakan oleh negara-negara yang tidak memiliki hubungan dagang langsung dengan Amerika Serikat.
Dilansir dari tempo, sistem pembayaran baru ini akan beroperasi melalui jaringan bank komersial yang saling terhubung melalui bank sentral BRICS. Berbeda dengan uang fisik, mata uang BRICS dirancang sebagai mata uang digital. Sistem ini akan memanfaatkan teknologi blockchain untuk menyimpan dan mentransfer token digital yang didukung oleh mata uang nasional, memungkinkan pertukaran mata uang yang lebih mudah dan aman tanpa perlu menggunakan dolar dalam transaksi.
Namun, ancaman Trump yang akan menaikan tarif impor 100% jika BRICS tetap membuat mata uang sendiri akan berpotensi menimbulkan efek terhadap perekonomian global.
Perkuat Ekonomi Nasional
Pengamat Hubungan internasional Universitas Budi Luhur, Andrea Abdul Rahman mengatakan kebijakan Trump akan mengancam perdagangan ekspor dan impor Indonesia dengan AS. Proteksionisme Trump membuat ekspor Indonesia dikenakan bea masuk yang cukup tinggi.
“Nah itu bahaya banget, karena bisa jadi produk-produk ekspor kita ke AS kena fee, kena pajak yang cukup tinggi, dan bea masuk yang cukup tinggi sehingga mengganggu stabilitas industri dalam negeri kita yang memang hidupnya dari ekspor, terutama ke AS,” katanya seperti dilansir Alinea.id
Dampak lain, terkait pertahanan dan keamanan Trump yang kerap diwarnai Partai Republik sehingga menerapkan kebijakan luar negeri agresif. Andrea memprediksi akan ada hotspot baru dan industrial built-in military Amerika Serikat yang lebih kencang. Termasuk peningkatan anggaran militer dan penekanan pada kekuatan militer Indonesia. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap stabilitas regional Asia Tenggara.
Lalu, isu lingkungan diprediksi akan berbeda dari Indonesia, terlihat dari Trump yang sangat skeptis dalam menyikapinya. Sementara Indonesia sangat perhatian terhadap isu lingkungan baik iklim, perubahan lingkungan, kebijakan lingkungan, hingga mitigasinya.
Terkait hubungan dengan China, Trump dinilai memiliki sikap yang selalu keras terhadap Negeri Tirai Bambu itu sehingga berdampak pada politik di Asia Timur dan Asia Tenggara.
“Indonesia perlu memantau mulai dari titik-titik hubungan, peningkatan gesekan, stabilitas di regional Asia Tenggara. Kebijakan Trump apakah akan agresif yang memungkinkan muncul pergerakan militer atau tidak. Selain itu dimungkinkan juga akan ada kerja sama dalam latihan militer,” tuturnya.
Sejumlah pakar memperkirakan Indonesia akan memperoleh berbagai manfaat, apabila kelak bergabung dengan forum kerja sama BRICS. Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan memang ada berbagai potensi dari sisi ekonomi yang bisa diraih oleh Indonesia ketika kelak bergabung dengan BRICS yang beranggotakan negara-negara berkembang yang memiliki lingkup perekonomian besar dan berpengaruh cukup baik terhadap tataran ekonomi dan geopolitik global.
Negara-negara dalam BRICS, ujarnya, dapat menyuarakan satu kepentingan yang sama. Beda halnya ketika Indonesia bergabung dengan OECD yang di dalamnya beranggotakan negara maju dan negara berkembang yang sudah pasti akan memiliki banyak perbedaan kepentingan.
“Dengan bergabung kepada negara-negara berkembang, plus negara berkembang yang memiliki ekonomi dan pasar domestik yang besar, semestinya paling tidak menurut saya ada satu kepentingan nasional yang memiliki kesamaan dengan kepentingan negara-negara berkembang yang lain yang bisa disuarakan bersama-sama untuk mewujudkan satu tatanan ekonomi global yang lebih adil,” ungkapnya
Manfaat lain yang bisa dirasakan oleh Indonesia adalah dari sisi perdagangan internasional, mengingat negara-negara anggota BRICS memiliki pasar domestik yang besar. Indonesia, tambah Faisal, berpotensi mendorong penetrasi pasar ekspor yang lebih luas dan kuat.
“Ini juga berpotensi untuk kita melakukan diversifikasi bukan hanya dari sisi perdagangan, tetapi dari sisi investasi. Tentu saja yang saya maksud adalah di luar China dan India, karena kedua negara itu memang sudah menjadi mitra, apalagi China mitra terbesar kita dari sisi perdagangan dan investasi nomor dua. Lalu India juga masuk top 5. Jadi ini ke negara-negara yang lain terutama Brazil, Rusia, Afrika Selatan,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menyatakan bahwa kebijakan proteksionisme yang akan diterapkan Trump, seperti peningkatan tarif impor yang tinggi dapat menekan perdagangan global dan menyebabkan pelambatan ekonomi dunia.
Meski begitu, Eko optimistis bahwa dampak tersebut dapat diminimalisir bila Indonesia memperkuat kemampuan ekonomi domestiknya.
“Pada perang dagang pertama, kita juga terkena dampaknya, tetapi kita tetap mampu tumbuh di kisaran lima persen,” Ujarnya.
Eko berpendapat bahwa Indonesia memiliki peluang besar di sektor investasi. Ia menyatakan bahwa negara-negara yang terdampak oleh kebijakan tarif AS mungkin berusaha mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Hal ini bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat kerja sama dalam transaksi yang menggunakan mata uang lokal, seperti rupiah.
Dengan strategi kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi ekonominya dalam perdagangan global.
Rafi Rizaldi