EKONOMI – Pro kontra Omnibus Law semakin santer terdegar di berbagai media Tanah Air. Wacana ini dimulai dari pidato Presiden Jokowi setelah dilantik menjadi presiden per tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Tujuan besar dibentuknya Omnibus Law adalah sebagai solusi untuk mengatasi rumitnya birokrasi instansi pemerintah yang memunculkan ketidakpuasan investor.
Omnibus Law terdiri dari dua payung besar hukum yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Secara garis besar, Omnibus Law merupakan payung hukum yang memiliki fungsi untuk menstandarisasi poduk hukum bermasalah di beberapa kebijakan sektoral seperti pembangunan ekonomi dan investasi.
[irp]
Setelah pidato Jokowi, muncul beberapa kalangan yang menolak wacana penerapan Omnibus Law karena dianggap tidak sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang perundang-undangan. Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menganggap bahwa penerapan Omnibus Law akan melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh karena terjadinya shifting pemerintah pusat dan bisnis akan menjadi lebih kuat.
“Omnibus Law juga tidak relevan dengan penyediaan lapangan kerja karena secara statistik angka pengangguran di Indonesia mengalami penurunan,” kata Faisal.
Jika dicermati, ada 2 (dua) tantangan terberat penerapan Omnibus Law. Pertama yaitu masih adanya persepsi tentang Omnibus Law yang dianggap berdampak pada kebijakan pemerintah daerah karena dinilai membatasi kebijakan pemerintah setempat. Kedua adalah Omnibus Law dinilai tidak sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.
[irp]
Melihat masih munculnya pro kontra ini, The Housing and Urban Development (HUD) Institute berinisiatif memberikan masukan substantif khususnya dalam sektor Perumahan Rakyat, Permukiman (Perkim) dan Pengembangan/ Pembangunan Kawasan Perkotaan. “Masukan yang kami sampaikan mengacu kepada landasan hak konstitusional bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD RI Tahun 1945, dengan menganalisa perubahan substantif peraturan perundang-undangan sektor perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/ pembangunan kawasan perkotaan, serta realitas sosial-masyarakat, khususnya Masyarakat Menengah-Kebawah terutama Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah (MBMB), Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR (Formal dan Non Formal), Masyarakat Pra Sejahtera (MPS), Masyarakat Fakir Miskin (MFM), konsumen dan dunia usaha (produsen dan turunannya),” kata Zulfi S.Koto, Ketua Umum The HUD Institute.
Menurut Zulfi, para konsumen perumahan di atas selama ini telah menjadi perhatian utama The HUD Institute sejak dideklarasikan pada 14 januari 2011 yang lalu.
Masukan The HUD Institute yang disampaikan ini menggunakan analisa pokok Lima Komponen Dasar Hak Bermukim (5 KDHB) sebagai pendekatan komprehensif, seimbang dan berkeadilan guna memperkuat konsideran RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) tersebut melalui sektor Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pengembangan/Pembangunan Kawasan Perkotaan sehingga meningkatkan akses terhadap penciptaan lapangan kerja (CIPTA KERJA) dan pertumbuhan ekonomi guna meraih impian Indonesia Emas 2045.
[irp]
“Pada pokoknya kami menyampaikan masukan, pandangan dan aspirasi adalah sebagai berikut: 1. Perlunya menyeimbangkan pencapaian pembangunan perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan yang menyentuh Masyarakat MenengahKebawah terutama MBMB, MBR, MPS, dan MFM, konsumen dan dunia usaha (produsen dan turunannya) sebagai amanat Pasal 28H ayat (1) UUD RI tahun 1945 sebagai bagian dari pengaturan dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law); 2. Perlunya harmonisasi dan semakin mengokohkan kelembagaan dan urusan Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pengembangan/Pembangunan Kawasan Perkotaan cq. perumahan bagi Masyarakat Menengah Kebawah sebagai urusan konkuren Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota,” urai Zulfi Panjang lebar.
The HUD telah melakukan telaah dan reviu atas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) bersama – sama dengan stakeholder sektor Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pengembangan/ Pembangunan Kawasan Perkotaan yang berhimpun dalam The HUD Institute.
[irp]
“Usulan lebih lengkap berupa Daftar Isian Masalah (DIM) akan kami sampaikan pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang akan dilakukan oleh DPR RI dalam menampung masukan, pandangan dan aspirasi dari masyarakat,” kata Zulfi lagi.
Untuk bisa memberikan masukan ini, pengurus The HUD Institute telah meminta dukungan kepada para Deklarator, Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan rekasi di Kemenkoekuin, di Senayan agar The HUD Institute mendapat kesempatan, agar pengurus The HUD Instiute bisa ikut hadir pada RDPU di BAMUS-DPR RI.
0 Responses