Property & Bank

Zulfi Syarif Koto : Anak Kampung Aur Dilahirkan untuk Perumahan

Zulfi Syarif Koto meluncurkan buku kedua mengenai perumahan dan program sejuta rumah

INSPIRASI – Esai ini tentang ‘Catatan Pak Zulfi’. Buku adalah catatan akal. Buku diciptakan untuk “dimakan”. Seperti tubuh perlu nutrisi, dari  Al Ghazali: jiwa perlu gizi ilmu dan risalah kebajikan. Akal memiliki kedudukan mulia, dipetik dari kitab Ihya. Catatan akal sebagai buku, patut dimuliakan tentu. Walau ada   noda hitam sejarah penghancuran. Walau kadang dicemburukan. Riwayat Zubair bin Bakkar –sang pencinta buku– unik. Istrinya cemburu  kepada buku, lebih berat dari tiga madu. Riwayat  itu terkuak  dari buku ‘1001 Kisah Teladan’ dari Hani al Hajj (“HaH”) (2004).

Bagai menikahi urusan perumahan rakyat,  Zulfi Syarif Koto (“ZSK”) menurunkan buku kedua –dari rencana tetralogi perumahan. Yang hendak mengedarkan  pengalaman, pemikiran berjiwa, pun bisa menjadi biografi intelektual –yang bulir-bulirnya  indak lapuak dek hujan.

[irp]

Pemikiran cq. hasil kerja akal bersalutkan  rasa itu tidak patut disembronokan.  Memuliakannya menjadi buku, ialah akhlak terpuji, tentu! Persis seperti nama tengahnya: Syarif –dalam bahasa Arab berarti dipuji, dimuliakan. ZSK mengabadikan  catatan akal-budi  lewat buku berjudul ‘Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah-Membangun Untuk Siapa?’  (disingkat ‘EP PSR-MUS?’). Juga, sebagai kepal perlawanan kepada tabiat jahat   penghancuran buku; ijinkan saya menyebutnya “genosida” pustaka.

Buku ‘EP PSR-MUS?’ telah diluncurkan secara daring   hari Kamis,  29 Oktober 2020  –di  almanak pas hari besar/ tanggal merah maulud Nabi Muhammad SAW.  Walau dihelat virtual, buku kedua ZSK itu nyata, bukan mimpi. Di ruang zoom hadir hampir seratus  tamu-undangan dari beragam kalangan. Dari mantan menteri, sekretaris menteri, yang mewakili menteri,  kawan menteri, birokrat, ketua  asosiasi realestat, direksi BUMN, guru besar, jurnalis, sahabat kental, putra-putri terkasih, sampai mahasiswa pengembangan wilayah.  Kehadiran karena pertautan hati, yang meluhurkan  peradaban berliterasi. Tradisi agung menulis buku itu mencengangkan, sejak dulu Tiro –sekretaris & penemu singkatan Tironian– mencatatkan pidato Cicero.

[irp]

Dari layar bercahaya tampak pak Theo Sambuaga,  pak Andrinov  Chaniago, pak Khalawi Abdul Hamid, pak Eko Djoeli Heripoerwanto, pak Soelaeman “Eman” Soemawinata,  pak Totok Lusida, pak Budiarsa Sastrawinata, Prof. Djohermansyah Djohan, Prof. Budi Prayitno, pak Hirwandi Ghafar, pak Ananta Wiyogo, pak Adi  Setianto, pak Oni Febriarto  Rahardjo. Juga pak Agung Mulyana yang membuka acara, pak Oswar Mungkasa, pak Hari Nugraha Nurjaman, bang  Yayat Supriatna, pak Ade Armansyah,  uda Erfendi “Pepeng” Forwapera dan  lebih banyak lagi tokoh perumahan.  Tokoh  senior pak Kemal Taruc –yang lama tidak bertemu,  pun hadhir sampai akhir. Hadir itu apresiasi dan prestasi.  Belum lagi yang terkoneksi youtube channel  The HUD Institute.

Nyata, fakta dan memfaktakan tagline The HUD Institute: “conneting peoples”. Saya sendiri hadir daring  sekaligus  luring di pangkalan helat peluncuran buku ‘EP PSR-MUS?’ dari Hotel Grand Zuri, BSD City, Tangerang Selatan. Menyertai Ketua Umum The HUD Institute dan memompa semangat panitia dari the young alias milenial HUD. Kaum milenial itu sangat sesuatu!

Mencatatkan pemikiran-cum-pengalaman lewat buku, ZSK seperti mengikuti ayat suci: Iqra’ (Bacalah!).  Seperti  meneladani Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi atau Al-Zahrawi (Bahasa Arab:  القاسم  أبو)  dikenal di Barat sebagai Abulcasis,  dokter   penemu benang  catgut  dan alat bedah era Andalusia; buku dan ilmunya (Al-Tasrif) menjadi penjaganya, bukan pedangnya.  Juga,  seperti  ambil posisi melawan lupa kepada luka budaya penghancuran buku: bibliocide  –yang dimonumenkan  Fernando Baez  lewat buku  ‘Historia universal de la destruction de libros’ (2004).

[irp]

Kiranya  ZSK  hendak  memanjangkan  daya  jangkau  bulir-bulir pemikiran dan pengalaman lewat jasa baik buku. Menuruti  kiasan  Jorge  Luis  Borges  bahwa:  “mikroskop dan teleskop adalah  perpajangan penglihatan; telepon adalah  perpanjangan suara; bajak dan pedang adalah  perpajangan lengan. Namun buku berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi”.

bersambung ke halaman berikutnya…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini