EKONOMI – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2021, akan melakukan analisis terkait efektivitas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sektor properti.
Setali tiga uang dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 86/PMK.010/2019 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah akan direvisi.
[irp]
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam Bawono Kristiaji mengaku, desain kebijakan PPnBM sektor properti bakal mengikuti tujuan akhir pemerintah. Ia menilai ada dua hal yang perlu dipertimbangkan terkait implementasi PPnBM.
Pertama mendorong konsumsi atau transaksi pembelian rumah mewah. Kedua, upaya memperoleh keseimbangan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi atau redistribusi.
[irp]
Kata Bawono, jika pemerintah bermaksud mengendalikan konsumsi rumah mewah sekaligus untuk menjamin keseimbangan pajak, justru PPnBM perlu untuk dipertahankan dengan modifikasi. Apalagi dalam konteks pandemi ini, justru banyak pemerintah di berbagai negara mempertimbangkan beban pajak yang proporsional bagi kalangan kaya.
Sedangkan jika pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi rumah dalam rangka menggairahkan ekonomi, Ia menilai jiks perlunya mempertimbangkan beberapa opsi.
Pertama, mempertimbangkan tidak hanya soal fasilitas PPnBM, tapi juga pajak pertambahan nilai (PPN)-nya. Hal ini justru bisa lebih menggairahkan pasar properti dan memberikan efek pengganda lebih besar.
[irp]
Kedua, jangan melakukan terobosan apapun, karena batasan threshold PPnBM rumah mewah hanya dikenakan atas rumah mewah dengan nilai di atas Rp 30 miliar yang notabene jumlahnya terbatas.
Dengan demikian, threshold yang tinggi tersebut pada dasarnya telah membuat pengenaan PPnBM kurang berdampak signifikan bagi kinerja bisnis properti secara umum dan bisa menghapus PPnBM.
“Saat ini PPnBM rumah mewah hanya dikenakan saat transaksi pengembang dengan konsumen akhir dan tak dikenakan pada transaksi antarmasyarakat. Ada kecenderungan transaksi di secondary market,” pungkasnya, pada Selasa (15/9).
[irp]
Dalam dokumen pemaparan Rapat Dengar Pendapat (RDP) BKF Kemenkeu dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/09/2020), disebutkan soal alasan otoritas fiskal mengevaluasi PPnBM sektor properti meliputi tiga hal.
Pertama,adanya pertumbuhan sektor properti beberapa tahun terakhir mengalami perlambatan. Kedua, pengaturan PPnBM atas rumah mewah saat ini berpotensi mendorong adanya praktek penghindaran pajak.
Ketiga, memberi rekomendasi format kebijakan pengenaan pajak sektor properti yang tergolong mewah, dengan melihat industri properti hunian dan permasalahannya.
BKF menjadwalkan tahun depan pada Januari-April sudah melakukan persiapan dan penyusunan kerangka kajian. Lalu Mei-Juli, BKF mengumpulkan, mengolah data, dan analisis awal. Dan, Juli-Oktober penulisan draf awal dan penyempurnaan hasil kajian.
[irp]
Dan Oktober-Desember jadi fase penyusunan laporan akhir dan penyampaian hasil kajian. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) realiasasi penerimaan pajak dari sektor konstruksi dan real estate hingga akhir Juli 2020 yakni Rp 36,85 triliun.
Secara umum, hasil pencapaian dalam tujuh bulan sejak masa pandemi Covid-19 ini terjadi, menunjukkan kontraksi 12,7% year on year (yoy). (Artha Tidar)