Kolom : Perkembangan bisnis dan usaha rintisan (start-up) di Indonesia belakangan ini bak jamur di musim hujan. Banyak anak muda yang sukses membangun bisnisnya diberbagai bidang. Meski demikian, tidak semua bisnis dapat berjalan dengan lancar. Human Resources Director at Blue Bird Group, Pambudi Sunarsihanto berbagi kisah mengenai seorang wanita muda, dalam sebuah perbincangan melalui Zoom.
“Sebut saja Ditta (bukan nama sebenarnya) yang bekerja disebuah perusahaan start-up besar di negara ini. Sebelum bekerja di perusahaan star-up, Ditta sudah belasan tahun malang melintang di beberapa perusahaan consulting internasional. Reputasinya pun sangat gemilang,” ujar Pambudi .
Tahun 2019, saat makan malam bersama di sebuah restoran dibilangan Jakarta Selatan. Saat itu, dia berkata, “I decide to start my own business. It’s time for to embark in the new adventure.”
Mendengar keinginannya, tentu bagi saya itu bukan hal yang tidak mungkin. Apalagi, seorang Ditta yang saya kenal ini sangat pintar, lulusan universitas terbaik di negara ini, Master di USA, bahkah memiliki pengalaman segudang di perusahaan terkemuka.
“wajar kalau dia punya kepercayaan yang tinggi. Ditta adalah contoh seorang talent yang begitu Competent, Confident dan punya Communication skills yang baik,” papar Pambudi.
Suatu ketika, Ditta berkatak “I am in trouble sir, I become the victim or my own success”. Ditta menjelaskan, Start-up saya berjalan dengan baik. Ide saya diterima para pelanggan. Sales juga bagus.
Now it’s time to deliver. Ditta mengaku tidak mampu mendelivered dalam volume yang begitu banyak dengan waktu yang singkat. Untuk merekrut orang dalam waktu singkat tidak memungkinkan, bahkan HR nya pun mengatakan perlu waktu 5-6 bulan untk merekrut banyak orang. Jadi apa yang haru dilakukan ?
Pambudi mengatakan, apa yang dialami Ditta ini memang banyak dialami oleh entrepreneur. Jadi bisa dikatakan Mereka ini menjadi korban kesuksesan sendiri.
Lalu apa solusinya, menurut Pambudi jawabannya Blitzscaling. Blitzscaling berasal dari Bahasa Jerman, blitz (kilat), dan Teknik yang sama pernah digunakan Hitler dalam masa Perang Dunia I, dengan serangan Bernama blietzkrieg yang artinya serangan kilat.
Blitzkrieg merupakan sebuah metode perang secara cepat yang diujungtombaki oleh infantri dengan kendaraan lapis baja, didukung oleh dukungan udara jarak dekat. Lewat metode ini dengan cepat merusak garis pertahanan lawan dan kemudian mengacaukan barisan pertahanan, dengan menggunakan unsur kecepatan dan kejutan untuk mengelilingi mereka.
“jadi apa yang alami oleh Ditta dan para entreprenuer lain adalah mereka ini harus menyadari bahwa star-up itu berbeda dengan yang lain. Harus ada penegasan kepada semua team yang terlibat dari perusahaan start-up itu untuk melupakan semua yang diajarkan di perusahaan sebelumnya. Robek itu SOP, buang ke tempat sampah. Start-up needs us to do things differently.” papar Pambudi.
Ready for growth?
Tantangan lainnya yang akan dihadapi para start-up yakni bagaimana meningkatkan (Scale-up) bisnis untuk dapat tumbuh. Meski dikatakan berhasil menjual dengan gila-gilaan, maka akan muncul permasalahan baru yakni bagaimana kemampuan untuk “deliver” ke semua pelanggan baru.
Scale-up adalah tentang kapasitas dan kapabilitas. Apakah bisnis Kita memiliki kapasitas untuk berkembang? Apakah sistem, infrastruktur, dan tim bisnis Kita dapat mengakomodasi pertumbuhan?
Jika pertumbuhan menyebabkan perusahaan tersandung karena kebingungan, pesanan yang gagal, staf yang tidak mencukupi, miskomunikasi, kapasitas produksi atau pengiriman yang tidak memadai , tentu akan berdampak pada pelanggan yang kecewa dan kabur semua.
Karena itu, Scale up berarti menyiapkan panggung untuk memungkinkan dan mendukung pertumbuhan di perusahaan dengan cepat. “Artinya memiliki kemampuan untuk berkembang tanpa terhambat. Hal ini membutuhkan perencanaan, pendanaan dan sistem yang tepat, staf, proses, teknologi dan mitra,”jelasnya.
Pambudi mengatakan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan para start-up ini, Pertama, Evaluate and Plan. Disini kita harus memperhatikan baik-baik mengenai bisnis yang dikembangkan, apakah sudah siap untuk berkembang. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Kemudian asumsikan pesanan berlipat ganda dua atau tiga kali lipat dalam semalam. Apakah perusahaan memiliki orang dan sistem untuk menangani kenaikan order tersebut?.
Kedua, Secure The Sales. Disini, adanya Scaling up bisnis berarti mengasumsikan Kita akan menjual lebih banyak. Apakah Kita memiliki struktur penjualan untuk menghasilkan lebih banyak penjualan? Lihatlah penjualan dari ujung ke ujung.
Untuk itu harus didukung dengan aliran “sales lead” yang cukup untuk menghasilkan jumlah “sales-lead” yang diinginkan. Lalu adanya Sistem pemasaran untuk melacak dan mengelola prospek. Kemudian ketersediaan Perwakilan penjualan yang cukup untuk menindaklanjuti dan menutup prospek. Selain itu, adanya sistem yang kuat untuk mengelola pesanan penjualan. Terakhir dan tidak kalah penting adalah sistem penagihan untuk menindaklanjuti , dan memastikan faktur dikumpulkan tepat waktu.
Ketiga, Invest in Technology. Dengan teknologi akan membuat semua lebih mudah dan lebih murah untuk menskalakan bisnis. “Otomatisasi dapat membantu Kita menjalankan bisnis dengan biaya lebih rendah dan lebih efisien dengan meminimalkan pekerjaan manual,” ujarnya.
Keempat, Find Employee or Strategically Outsource. Adanya teknologi memberikan pengaruh besar, tetapi pada akhirnya Kita masih membutuhkan karyawan.
Scale up mengharuskan Kita membuat pilihan yang sulit. Fungsi apa yang dapat dan harus Kita lakukan atau tidak secara internal?
“Jadi Blietzscaling diperlukan dalam percepatan bisnis kita. Kalau tidak kita akan terlambat dalam kompetisi yang kejam ini,” tutup Pambudi.