
BERITA PROPERTI – Sejak digulirkan pada tahun 2015 lalu, Program Sejuta Rumah yang menjadi salah satu program dibidang perumahan pemerintahan Presiden Joko Widodo, dirasakan masih belum maksimal dalam hal pencapaiannya. Kendala terbesar yang dikeluhkan pengembang adalah masalah perizinan.
Dalam diskusi bertajuk Coffee Morning Forwapera (Forum Wartawan Perumahan Rakyat) dengan tema Memperkuat Program Sejuta Rumah awal April 2018 lalu, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengakui, pemerintah memang terlihat berkomitmen penuh dalam merumahkan rakyat, terutama pada beberapa tahun belakangan. Namun, ia juga menyoroti beberapa kendala yang dihadapi pengembang.
”Salah satu kendala yang dihadapi adalah kredit konstruksi dari perbankan. Kami berharap ada pemerintah harus lebih berpihak kepada pengembang, khususnya yang membangun rumah subsidi. Bank masih memberlakukan bunga konstruksi yang cukup tinggi di angka 13%,” jelas Eman, sapaan akrab Soelaeman Soemawinata.

Presiden FIABCI Asia Pasifik ini menegaskan, Untuk itu, pemerintah harus mampu melakukan intervensi kepada perbankan, khususnya bank pemerintah sebagai bentuk keberpihakan kepada MBR. Ia berharap suku bunga kredit konstruksi rumah subsidi lebih rendah dari suku bunga kredit konstruksi rumah non subsidi.
Dengan begitu, ujar Eman, bunga kredit konstruksi yang rendah akan membuat perusahaan pengembang yang berkecimpung di pembangunan rumah MBR memiliki cash flow yang lebih bagus. Selain itu, produktivitas pun lebih capat, sehingga bisa membangun rumah lebih banyak.
Hal senada diamini oleh Ketua Umum DPP Apersi (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia) Junaidi Abdillah. Ia menyoroti kendala yang dihadapi oleh anggota-anggotanya yang mayoritas sebagai pengembang rumah sederhana, adalah masih kecilnya komitmen Pemerintah Daerah terhadap program sejuta rumah.
”Pemda masih belum maksimal dalam mendukung program dari Presiden Joko Widodo ini. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan pemerintah (PP) nomor 64 tahun 2016. Tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar dipatuhi,” jelas Junaidi.
Ia juga menjelaskan adanya aturan Sertifikasi Laik Fungsi (SLF) yang berpotensi menambah biaya, waktu, dan lebih menyulitkan pengembang. Padahal, rumah MBR yang dibangun oleh Apersi harga jualnya dibatasi. Sementara, dengan adanya aturan ini akan menyulitkan pengembang.
”Kendala-kendala ini akan sangat menyulitkan dan membuat target pembangunan satu juta rumah tidak akan tercapai tahun ini. Jadi kami sangat mengharapkan adanya kemudahan bagi pengembang untuk kelanjutan program sejuta rumah,” ujar Junaidi lebih lanjut.
Coffee Morning yang digelar di Kantor Crown Group di The Plaza Tower ini juga menghadirkan pembicara lain seperti Direktur Operasi Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Nostra Tarigan dan Budi Permana, Business & Sales Development Department Head, Subsidized Mortgage Division Bank BTN.
Ketua Forwapera, M. Ridaf Sukri mengatakan, diskusi mengenai program sejuta rumah ini dilakukan sebagai bentuk perhatian forum ini agar terus berjalannya program tersebut. ”Kami sangat concern kepada program ini karena sangat berpihak kepada kebutuhan masyarakat menengah bawah,” ujarnya.