Propertynbank.com – Pulau Rempang merupakan sebuah pulau yang terletak Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau Rempang memiliki potensi keindahan alam, pantai berpasir putih, dan aktivitas laut yang menarik. Pulau ini juga memiliki fasilitas akomodasi dan restoran untuk wisatawan yang datang mengunjunginya.
Belakangan, Pulau Rempang mendapatkan sorotan bukan karena keindahannya tapi munculnya konflik antara warga setempat dengan aparat keamanan, dalam hal ini pemerintah daerah. Bahkan, ribuan warga mendatangi kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam hingga menimbulkan kericuhan pada Senin (11/09/2023) lalu.
Dikutip dari tribunsolo.com, kerusuhan di Pulau Rempang ini diakibatkan karena warga menolak adanya proyek pengembangan kawasan ekonomi yaitu Rempang Eco City di wilayah tersebut. Akibat adanya proyek itu, seluruh penduduk Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa harus direlokasi. Rempang Eco City digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha.
Baca Juga : Kementerian ATR/BPN Dorong Penyederhanaan Regulasi Kepemilikan Properti Bagi WNA
Rempang Eco City, diharapkan dapat menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080. Rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan, bahkan anak sekolah yang masih melakukan aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan. Bentrokan terjadi antara warga Pulau Rempang, dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP.
Awal Mula Konflik Pulau Rempang
Konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada tahun 2001. Saat itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha.
Hal ini membuat masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin berat. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.
Konflik lahan memang belum ada saat itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang. Munculnya konflik yaitu saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.
Mengutip Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD mengatakan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.
“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” ungkapnya. Ia juga menambahkan pada tahun 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.
“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” tambahnya.
Baca Juga : Menteri ATR/BPN Fokus Penyelesaian Sengketa Lewat Skema Pendekatan Humanis Kerakyatan
Ia mengatakan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. “Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” katanya.
Oleh karena itu, kesalahpahaman itu diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan dalam hal SK yang sudah ada pada tahun 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya.
Janji Pemerintah Bagi Warga Terdampak
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Pulau Rempang. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto telah berkunjung ke Batam untuk membicarakan hal lanjutan dalam penyelesaian konflik yang melibatkan masyarakat di pulau tersebut.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa proses penanganan masalah di Pulau Rempang harus dilakukan dengan cara yang baik.
“Kami sudah melakukan kesepakatan-kesepakatan yang (kemudian) akan kita bicarakan dengan rakyat. Proses penanganan harus dilakukan secara soft. Tetap kita memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun-temurun di sana, kita harus lakukan komunikasi dengan baik,” ungkapnya.
Baca Juga : Percepat Proses Penyelesaian Sertifikat, Kementerian ATR/BPN Jalin Kerjasama Dengan BTN
Pemerintah menyusun rencana penyelesaian konflik yang terbaik bagi seluruh pihak. Bahlil mengungkapkan bahwa rencana investasi termasuk di Pulau Rempang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Ia juga menambahkan sehubungan dengan pemberian ha katas tanah bagi masyarakat di Pulau Rempang yang terkena dampak, mesteri ATR/Kepala BPN mengatakan bahwa sudah menyiapkan tempat relokasi. “Terkait tempat untuk saudara-saudara kita yang ada di Rempang, kami sudah siapkan lokasi di Dapur 3, Pulau Galang. Luasnya 500 hektare,” katanya.
Menteri ATR/Kepala BPN juga sudah berkoordinasi dengan Wali Kota Batam, Muhammad Rudi perihal rencana untuk memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat. “Ketika sudah diinventarisasi dan identifikasi, subjeknya sudah ditentukan 16 titik, kita ingin langsung menyerahkan sertipikat sambil kita jalankan pembangunan dan diawasi oleh pemilik,” ungkapnya.
Hadi Tjahjanto berharap masyarakat terdampak Pembangunan di Pulau Rempang ketika sudah memenuhi syarat nanti bisa diberikan sertifikat Hak Milik Atas Tanah.
“Sertifikat Hak Milik yang diberikan tidak boleh dijual dan harus dimiliki oleh masyarakat yang terdampak tersebut. Untuk yang direlokasi ini nantinya juga kami minta supaya diberikan SHM untuk masyarakat yang sudah diverifikasi dan identifikasi seluas masing-masing 500 meter,” pungkasnya. (Nabilla Chika Putri)