Propertynbank.com – Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) merasa kuatir kuota rumah subsidi di tahun 2024 akan segera habis, sehingga berdampak kepada pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Ketua Umum DPP APERSI menyatakan kekuatiran tersebut, karena menurut hitung-hitungannya pada tahun 2024 ini kuota yang diberikan oleh pemerintah berkurang dari tahun sebelumnya atau tahun 2023 lalu. Menurut dia, kuota rumah subsidi ini tak hanya membuat pelaku industri atau pengembang khawatir, tapi juga menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Sebagaimana diketahui bahwa kuota rumah subsidi untuk tahun 2024 ini hanya 166 juta unit. Jika dibanding dengan tahun lalu, jumlah ini berkurang cukup signifikan yakni dengan kuota mencapai 250 unit,” ujar Junaidi Abdillah kepada sejumlah media, saat ditemui di kantor DPP APERSI, Cawang, Jakarta Timur, Jumat (4/5).
Baca Juga : Apersi Hadirkan Tiga Capres Paparkan Program Perumahan di Rakernas 2023
Lebih lanjut dia memprediksi, kuota 160 ribu unit rumah ini akan habis pada bulan Juli 2024 mendatang. Oleh karena itu, hal ini menjadi sorotan utama setelah tahun sebelumnya berhasil menyerap habis kuota sebesar 250 ribu unit. “Kami Apersi berharap jumlah kuota ini bisa ditambah, kalau tidak ditambah, dampaknya akan sangat besar kepada para MBR,” tegas Junaidi.
APERSI, sambung Junaidi, berharap agar langkah konkret diambil untuk mengatasi berkurangnya kuota rumah subsidi ini. Hal ini karena berkurangnya kuota subsidi rumah akan berdampak besar, tidak hanya bagi MBR dan pengembang, tetapi juga pada industri properti secara keseluruhan.
Keterbatasan kuota bisa berpotensi menghambat pertumbuhan sektor properti, mengakibatkan terhambatnya pengembangan properti dan meningkatkan risiko kebangkrutan bagi pengembang yang tidak bisa memenuhi kewajiban perbankan.
APERSI Dorong Badan Khusus Perumahan
Untuk menghindari potensi yang tidak diiginkan terkait rumah subsidi, APERSI memandang penting untuk dibentuk sebuah badan yang khusus untuk mengurusi rumah subsidi untuk MBR. APERSI, ujarnya, memandang hal ini penting karena sebenarnya perangkat yang disediakan pemerintah itu sudah ada terkait badan yang akan dibentuk yaitu BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan). Untuk itu APERSI berharap pemerintahan baru (Prabowo – Gibran) yang akan dilantik dalam beberapa bulan mendatang bisa memaksimalkan peran BP3.
Baca Juga : Pemerintah Tambah Kuota Penerima Bantuan Subsidi Perumahan Tahun 2023
“Seharusnya sudah harus terbentuk karena UU ciptaker, PP, PERPU, dan Perpres nya sudah ada. Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) yang telah diamanatkan oleh pemerintah melalui undang-undang cipta kerja (Ciptaker) diharapkan segera terbentuk untuk mengatasi masalah ini,” tegas Junaidi.
Selain itu, tuturnya, dengan sisa kuota sebesar 60 persen dari total 166 ribu unit, pengembang menekankan perlunya penambahan kuota minimal sama dengan tahun sebelumnya, yakni sebesar 250 ribu unit. Permintaan rumah subsidi juga belum menunjukkan penurunan, dengan kuota ideal yang seharusnya mencapai 300 ribu unit, tetapi masih banyak yang belum terakomodir.
Selain itu, imbuh Junaidi, APERSI juga berharap adanya terobosan-terobosan pembiayaan yang dilakukan pemerintah. “Selama ini kuota rumah subsidi bergantung pada APBN, untuk itu perlu krativitas, inovasi pembiayaan agar permasalahan rumah subsidi untuk MBR tidak berkutat terus berulang setipa tahunnya, kuota dikurangi karena anggarannya juga berkurang,” jelas Junaidi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP APERSI Daniel Djumali menambahkan, perlun adanya skema dan kuota khusus bagi kaum milenial dan MBT (Masyarakat Berpenghasilan Tanggung) yang berpenghasilan diatas Rp8 – 15 juta. Hal ini karena cukup memberatkan bagi mereka untuk mengambil rumah komersial dengan bunga pasar dan juga membayar asuransinya.
Baca Juga : Kuota FLPP Ditambah Hingga Rp 2 Triliun, Bank BTN Gelar Akad Massal
“Jadi perlu skema khusus dengan bunga sekitar 6-7 % pertahunnya, dengan jangka waktu 10 -15 tahun, dan biaya assuransi jiwa minimalis serta bebas PPN,” timpal Daniel Djumali. Selain itu, kata dia, Bantuan Biaya Administrasi (BBA) untuk tahun 2024 juga belum berjalan atau belum bisa otomatis dicairkan oleh Perbankan. “Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi bagi MBR,” katanya menambahkan.
Oleh karena itu, Daniel Djumali berharap perijinan khususnya bagi MBR dan MBT dapat direlaksasi atau diminimalkan dan diberlakukan khusus. Pasalnya, pasar MBR dan MBT serta milenial merupakan pangsa pasar besar yang selalu meningkat pesat setiap tahunnya.