KOLOM-Andaikata Presiden SBY tidak berganti Wakil Presiden pada Kabinet SBY II, sangat besar kemungkinannya perjalanan sektor perumahan di Indonesia tidak seperti sekarang ini, dalam arti produksi rumah belum berkembang seperti diharapkan dan angka backlog bukannya menurun tetapi justru membengkak. Kemenpera Kabinet SBY I meneruskan program GNPSR (Garakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah) yang dicanangkan oleh Ibu Megawati di Bali pada tahun 2003. Penerusan ini dengan niat untuk menghapus kebiasaan setiap ganti pejabat, ganti kebijakan.
Berdasarkan pengalaman selama kabinet SBY I, prestasi sektor perumahan rakyat juga tidak terlalu jelek. Angka target berdasarkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang disusun oleh Bappenas dibandingkan dengan realisasinya menunjukkan perbandingan: pertama Rumah baru layak huni, sasaran RPJMN 1.265.000 unit, realisasi 1.382.720 unir (109%). Kedua, a) rusunawa, target RPJMN 60.000 uinit, reralisasi 34.486 unit (57%); b) Rusunami dengan peran swasta, target RPJMN 25.000 unit, realisasi 44.595 unit (178%). Ketiga, Perumahan swadaya, target RPJMN 3.600.000 unit, realisasi 3.651.109 unit ( 101%). Keempat, penataan kawasan, rencana 10.700 ha, realisasi 11.239 ha (105%) (Indra Utama, 2009, p. 290-291).
Selain itu, digalakkan pula program pembangunan 1000 tower rumah susun sederhana (rusuna), dengan tujuan mendekatkan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dengan tempat kerjanya dipusat-pusat kota. Di masa itu juga dilakukan tiga kali peresmian 100.000 rumah produksi REI oleh Presiden SBY. Bahkan pada peresmian terakhir sudah disepakati dengan Bapak Teguh Satria (Ketua REI) untuk tahun depan meresmikan bukan 100.000 tetapi 150.000 rumah produksi REI. Sayang kelanjutan program ini tidak terealisir dengan baik. Kesemuanya itu, sangat mustahil bila Kemenpera melakukannya tanpa memanfaatkan wibawa, goodwill dan koordinasi dari Wakil Presiden waktu itu, yaitu Bapak JK. (termasuk rapat-rapat koordinasi yang banyak dilakukan dikantor Wapres)
Kritik untuk pembangunan seribu menara rusun juga sudah terdengar sejak saat itu. Akan tetapi, Bapak JK berpendapat bahwa meskipun dianggap yang beli salah sasaran karena banyak orang beruang yang membeli rusun, akan tetapi Bapak JK berkeyakinan bahwa yang tinggal dirusun sederhana pasti orang miskin juga, mungkin pegawainya atau bahkan sopirnya. Selain itu, dengan semakin cepatnya rusuna laku, maka pengusahanya akan semakin nyaman dan bersemangat untuk mulai membuat rusuna yang lain. Juga masalah penertiban kepemilikan, bila dianggap ada penyimpangan dapat dilakukan oleh aparat Pemda pada masa selanjutnya, dengan meneliti secara cermat bukti kepemilikan rusuna yang ada sesuai dengan peraturannya. Menilai keberhasilan program rusuna jangan dengan memberi penilaian sesaat, tetapi biarlah proses berjalan sehingga satu periode dan baru dievaluasi kembali. JK juga sangat bersemangat untuk mengupayakan agar tanah-tanah tidak produktif milik BUMN dapat dimanfaatkan untuk membuat perumahan bagi MBR. Sayang koordinasi dan kerjasama antar kementerian tidak berjalan sebagaimana diharapkan, meskipun konon Menteri PU pernah mengeluarkan aturan agar tanah-tanah menganggur milik BUMN itu dapat dijual untuk perumahan dengan harga Rp.1,000,000,–/meter persegi. Tampaknya meskipun kebijakan ini disetujui oleh Wakil Presiden, tetapi kurang mendapat dukungan dari Kementerian BUMN.
Masalah lain yang sangat didukung oleh JK adalah pembangunan Rumah susun sederhana, termasuk rusunami oleh pengusaha swasta. Kebijakan ini yang di masak dalam rapat koordinasi di kantor Wapres, didukung penuh oleh Gubernur DKI Bang Yos. Saking bersemangatnya Bang Yos sampai rusunami diizinkan dibangun bersamaan dengan proses pengajuan izin, tidak perlu menunggu izin keluar. Hal ini disambut dengan gegap gempita oleh terman-teman developer yang sangat antusias. Di DKI bermunculan program rusunami. Sayang bersamaan dengan gantinya gubernur DKI, kebijakan pro poor itu dicabut oleh penggantinya dan dimulailah operasi pemberian denda bahkan ancaman pencabutan izin bagi rusunami yang tidak memenuhi peraturan DKI yang baru. Akibatnya mulailah exodus pengembang untuk menghentikan program rusunami bersubsidi dan mulailah muncul rusunami murah tanpa subsidi. Pengganti Bang Yos sangat pede (percaya diri) dalam menolak kebijakan pemberian kemudahan bagi pengembang dengan alasan otonomi daerah dan gubernur harus bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya bukan kepada kementerian di pusat. Masalah ini semestinya akan diselesaikan pada masa Kabinet SBY II, hanya sayang JK tidak lagi menjadi Wakil Presiden, sehingga persoalan pembangkangan pemerintah daerah berlalu tak berkesan.
Diawal memegang jabatan ditahun 2005, Menpera beranggapan bahwa political will presiden sudah cukup untuk menyelesaikan problematika perumahan bagi MBR, terbukti dengan pembentukan Kemenpera, yang tadinya hilang diperiode Presiden Gus Dur dan Ibu Mega. Pendapat ini berubah setelah melalui masa kerja sekitar lima tahun dan apalagi setelah membuat riset tentang perumahan untuk disertasi S3. Pendapat penulis dan beberapa responden menyatakan bahwa political will presiden RI dalam masalah perumahan belum cukup, terbukti antara lain dengan sedikitnya alokasi anggaran dalam APBN yang kurang dari 1%. Meskipun demikian, JK dalam menjawab wawancara penulis pada tanggl 8 Maret 2013 dikantor Palang Merah Indonesia, tetap menunjukkan loyalitasnya kepada Presiden dengan menganggap political will Presiden sudah cukup. Melihat catatan historis loyalitas yang sudah ditunjukkan oleh JK dimasa lalu kepada atasannya, maka kiranya tidak beralasan bila sekarang misalnya ada pendapat yang menduga dimasa datang pada periode kabinet Kerja ini akan ada perselisihan antara Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan kejadian-kejadian yang tercatat dalam life history tersebut, akan bijaksana sekali bila dikabinet Kerja Presiden Jokowi ini, koordinasi pemenuhan kebutuhan perumahan khususnya bagi MBR diletakkan ditangan Wakil Presdien JK, dengan dibekali political will yang memadai, sehingga kebijakan dan koordinasi urusan perumahan akan jauh lebih baik dibanding masa-masa lalu. Barangkali akan ada pertanyaan, apakah tidak ada alternatif lain? Jawabnya ”ada”. Yaitu kebijakan dan koordinasi kerja urusan perumahan rakyat dipegang sendiri secara langsung oleh Presiden Jokowi dengan political will yang kuat dan tidak bisa diragukan lagi keberpihakannya kepada MBR.
Wallohu a’lam.
Riwayat penulis:
Mohammad Yusuf Asy’ari, adalah doktor ilmu Administrasi Publik dari Universitas Brawijaya; pengajar tetap di Sekolah Pasca Sarjana dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ); tahun 2004 – 2009 menjadi Menteri Perumahan Rakyat Kabinet SBY I; di tahun 2014 dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden RI.