Propertynbank : Hingga saat ini PT Bank Central Asia (BCA) Tbk sudah menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) hijau senilai Rp1,14 triliun. Green mortgage itu disalurkan untuk membiayai pemilikan rumah dan apartemen yang sudah mendapat sertifikasi hijau (greenship) di lima proyek.
Kelima proyek tersebut adalah Citra Maja Raya (Maja, Lebak-Banten), Kota Baru Parahyangan (Padalarang Barat, Bandung Barat-Jawa Barat), Samanea Hill (Parung Panjang, Bogor-Jawa Barat), Navapark, dan Verde Two (Kuningan, Jakarta Selatan-DKI Jakarta).
“Maunya kami bisa menyalurkan KPR Hijau yang lebih besar lagi. Karena itu kami berharap ke depan makin banyak proyek properti yang mendapat sertifikasi hijau. Jadi, kami sangat berkomitmen menyalurkan pembiayaan hijau, tapi di bisnis properti (realisasi) komitmen itu juga sangat tergantung pada suplai properti yang sudah mendapat sertifikasi hijau,” kata Welly Yandoko, Executive Vice President (EVP) Consumer Loan BCA.
Baca Juga : Sinar Mas Land Komitmen Terapkan Prinsip ESG di 2024
Hal itu diungkapkan Welly Yandoko dalam Halal bi Halal dan Bincang Santai bertajuk “Tuntutan Implementasi Bisnis Properti & Pembiayaan Hijau”, yang diadakan Urban Forum, Forwada, dan Indonesia Housing Creative Forum di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Bincang santai dibuka Herry Trisaputra Zuna, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Menurut Welly, sejak awal BCA sangat mendukung penerapan konsep ESG (Environment, Social, Governance-ramah alam, bermanfaat secara sosial, dan tata kelola yang solid) termasuk di bisnis properti, antara lain melalui penyaluran pembiayaan hijau. Hal itu ditunjukkan oleh penyaluran kredit hijau BCA yang terus meningkat, Dimana posisi terakhir telah mencapai Rp123 triliun.
Sepanjang 2019 – 2023 mengalami peningkatan dari Rp44 triliun menjadi Rp87 triliun Dimana sebagain dari angka tersebut merupakan KPR hijau dan di tahun 2023 penyalurannya tumbuh sebesar 7%.
Ia menambahkan, untuk merangsang developer mengembangkan properti hijau dan juga mendorong konsumen membeli properti yang sudah mendapat sertifikasi hijau, BCA siap memberikan rate kredit yang bersaing, biaya kredit yang lebih rendah, dan proses persetujuan aplikasi yang lebih cepat dan mudah.
Welly menyebutkan, komitmen terhadap keberlanjutan (sustainabilitas) atau ESG tidak hanya ditunjukkan BCA dalam penyaluran kredit hijau, tapi juga dalam proses bisnis. Tahun 2023 sebanyak 99,7% dari total transaksi kredit dilakukan melalui channel digital. Mekanisme persetujuan kredit misalnya, termasuk KPR, menggunakan channel digital melalui berbagai kanal seperti myCore, myPartnerBCA, dan RumahsayaBCA.
Baca Juga : Fokus Garap 3 Kawasan, Paramount Land Komitmen Terapkan Prinsip ESG
“Sekitar 63 persen aplikasi KPR BCA masuk melalui channel digital,” ungkap Welly. Bahkan, kegiatan administrasi BCA juga dilakukan dengan konsep daur ulang (recycle). Sebagian kegiatan internal perusahaan seperti rapat dan pertemuan, serta kegiatan administrasi, dilakukan secara online atau bisa dikerjakan dari mana saja (WFH).
Itulah sebabnya kinerja BCA sangat solid. Di bisnis KPR misalnya, pangsa pasar BCA sampai akhir tahun lalu mencapai 24%. Dari total penyaluran KPR oleh 38 bank pda 2023 senilai Rp513,6 triliun, sebanyak Rp121,8 triliun disalurkan BCA.
“Rasio kredit bermasalah atau NPL KPR BCA juga jauh lebih rendah daripada NPL industri. Kalau NPL KPR perbankan 2,39 persen, NPL KPR BCA hanya 1,12 persen,” ungkap Welly.
ESG Menyeluruh
Chief Marketing Officer Damai Putra Group, Binsar Pandiangan menyatakan penerapan konsep ESG di sektor properti memang tidak bisa digantungkan hanya pada satu dua pihak seperti bank dan developer, melainkan harus melibatkan seluruh stakeholder terutama pemerintah sebagai regulator.
Fungsi regulator terutama menyusun standar keberlanjutan yang diharapkan diterapkan pelaku bisnis dan keuangan, dan memberi insentif entah berupa keringanan pajak, perizinan, atau yang lain.
“Bagaimanapun penerapan konsep hijau itu menambah cost, termasuk proses mendapatkan sertifikasinya. Sementara bisnis berorientasi profit,” katanya.
Ignesjz Kemalawarta, Kepala Badan Kajian Strategis Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI), mendukung pendapat Binsar tersebut. Menurutnya, konsep ESG memang mau tak mau harus diterapkan pebisnis, baik dalam proses produksi maupun operasional menyusul makin meresahkannya pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi CO2 yang berlebihan.
Fokusnya bagaimana mengurangi konsumsi energi (energy effieciency) agar bisa mereduksi emisi gas rumah kaca (CO2), ditambah reduksi konsumsi air, pengolahan sampah dan limbah.
“Pengembang tidak bisa hanya berorientasi profit, karena profit tidak akan bisa dicapai kalau alamnya sudah rusak, dan sebaliknya. Pebisnis harus berpartisipasi mengurangi kerusakan alam itu,” kata advisor PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) itu.
Baca Juga : Lippo Konsisten Terapkan ESG Dalam Pembangunan Proyeknya
Untuk itu pemerintah melalui Kementerian PUPR, OJK, dan institusi terkait lain bersama provider sertifikasi hijau atau Green Building Council Indonesia (GBCI), sangat perlu menginisiasi gerakan hijau itu melalui regulasi dan pemberian insentif, termasuk untuk pebisnis properti dan industri keuangan agar mereka terdorong menerapkan konsep ESG.
Konsep hijau dalam arti ramah terhadap alam perlu diiringi dengan aspek sosial dan tata kelola agar bisnis yang menerapkan konsep itu tetap berkelanjutan.
“Saat ini yang gandrung menerapkan konsep ESG itu baru subsektor perkantoran (office). Perumahan dan apartemen masih sangat sedikit,” kata Ignesjz.
Perkantoran lebih getol melakukannya, karena ada insentif dari berbagai perusahaan besar untuk lebih memilih gedung perkantoran yang sudah mendapat sertifikat hijau. Terutama terkait dengan upaya mereka meningkatkan daya saing, dengan mendapatkan rate yang lebih kompetitif di pasar keuangan dan dari investor.
“Jadi, insentif menerapkan konsep hijau itu di subsektor perkantoran cukup tinggi, termasuk dari sisi cost,” katanya.
Ignesjz menyebutkan, tambahan investasi untuk menerapkan konsep hijau di gedung perkantoran mencapai 4-5%. Tapi bisa memberikan energy saving atau energy effieciency antara 30-45%.
Ia memberi contoh gedung Mina Bahari IV di Gambir, Jakarta Pusat, yang sudah mendapat banyak penghargaan hijau. Tambahan investasi untuk menerapkan konsep hijau pada bangunan dan segala infrastruktur dan utilitasnya mencapai 4,44%.
Namun, tambahan investasi itu mampu menghasilkan penghematan biaya utilitas 56% setahun atau setara Rp4,1 miliar atau setara konsumsi energi 680 rumah MBR, sehingga investasi tambahan itu bisa kembali dalam 4,3 tahun.
Baca Juga : Bank DKI Raih Penghargaan ESG Recognized Commitment
Hal yang kurang kebih sama terjadi pada gedung utama Kementerian PUPR di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Energy saving itu akan lebih besar lagi bila sebuah gedung menggunakan energi dari panel surya.
“Di subsektor perumahan kompensasi penerapan konsep ESG itu mungkin jauh lebih kecil. Sampai sekarang belum ada penelitiannya. Karena itu penerapan konsep keberlanjutan di subsektor perumahan tidak segandrung di perkantoran. Perlu peran pemerintah mendorong sektor perumahan menerapkan konsep hijau atau ESG itu,” tuturnya.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, Herry Trisaputra Zuna juga membenarkan, upaya menerapkan konsep ESG termasuk di sektor properti dan pembiayaannya memerlukan sebuah gerakan.
Ia mencontohlan gerakan tidak merokok di ruang publik dan transportasi umum yang cukup berhasil. Juga inisiasi cashless di jalan tol yang sekarang akan dilanjutkan cukup dengan sensor.
“Dulu biasa saja orang ngerokok di angkutan umum, bahkan di pesawat udara. Sekarang siapa yang berani melakukannya?” katanya.
Di bisnis properti ia menyebutkan Kementerian PUPR sedang menginisiasi gerakan Indonesia Green Affordabel Housing. Gerakan dimulai terlebih dulu di affordabel housing karena rumah subsidi itu diatur pemerintah pengembangan dan pembiayaan pemilikannya melalui pemberian subsidi.
Baca Juga : Bangunan Bersertifikat Hijau Paling Diinginkan Pada Tahun 2030
Jadi, bisa lebih mudah memulai gerakannya karena rumah subsidi itu regulated dan kebutuhannya besar. Setelah itu gerakan bisa dilanjutkan ke perumahan komersial.
“Penerapan ESG di sektor perumahan memang tidak bisa serta merta, karena ini dilema juga, suplainya masih kurang dibanding kebutuhannya yang besar,” katanya.
Herry setuju diperlukan kerja sama semua pihak terkait untuk mengimplemntasikan konsep ESG di bisnis properti termasuk pembiayaannya. Juga diperlukan regulasi yang mendukung serta insentif, entah berupa kemudahan perizinan, pajak, pendanaan murah seperti dari Bank Dunia, dan lain-lain.