Property & Bank

REI : Evaluasi Menyeluruh Program Sejuta Rumah

Diskusi Forwapera Kupas Tuntas Dua Tahun Program Sejuta Rumah
Diskusi Forwapera Kupas Tuntas Dua Tahun Program Sejuta Rumah

BERITA PROPERTI – Ketersediaan lahan masih menjadi kendala utama bagi pengembang dalam membangun rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Terlebih lagi jika pengembangan yang dilakukan di perkotaan yang harga lahannya sudah sangat mahal. Diperlukan dukungan penuh dari pemerintah agar program sejuta rumah bisa berjalan sesuai dengan harapan.

Dalam diskusi Kupas Tuntas Dua Tahun Program Sejuta Rumah yang digelar oleh Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), Selasa 9 Mei 2017 lalu, Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata mengungkapkan, disamping masalah ketersediaan lahan, masih ada sejumlah kendala yang harus segera dievaluasi bersama.

“Kalau melihat hasil yang sudah dicapai, dalam dua tahun sejak program sejuta rumah diluncurkan secara umum sudah berjalan dengan sangat baik. Dari sisi jumlah unit hunian yang dibangun oleh pengembang swasta maupun pemerintah untuk MBR ini, terjadi peningkatan meski masih ada kendala yang dihadapi,” ujar Soelaeman yang akrab disapa Eman ini.

Sebagai asosiasi yang berkomitmen menjadi garda terdepan dalam pembangunan rumah rakyat, kata dia, REI memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sudah membuat sejumlah regulasi untuk memudahkan pengembang guna mendorong pasokan rumah murah bagi MBR. Meski begitu, pemerintah harus segera menangani beberapa kendala yang ada di lapangan.

“Konsep sejuta rumah ini awalnya seperti cek kosong. Artinya developer dari sisi suplai diminta mencari tanah sendiri untuk dibangun rumah subsidi. Lahan pun dibeli secara sporadis, sehingga lokasi rumah FLPP sering berada jauh dari pusat kota atau konsentrasi pasar masyarakat yang membutuhkan,” tegas Eman.

Di Semarang, Eman mencontohkan, karena semakin mahalnya harga lahan pusat kota membuat pengembang di daerah itu terpaksa mencari lokasi dipinggir-pinggir kota. Akibatnya, antara pasokan dan permintaan menjadi tidak sinkron. Sama halnya dengan di Serang (Banten), perumahan subsidi dibangun jauh dari pabrik-pabrik tempat masyarakat bekerja. Begitu juga yang kerap terjadi di hampir semua daerah di Indonesia.

“Harga jual rumah FLPP yang rata-rata naik 5% setiap tahunnya karena pertumbuhan ekonomi daerah, harga tanah, laju inflasi, dan kemahalan konstruksi di setiap daerah yang berbeda-beda, juga menimbulkan masalah tersendiri. Maka dari itu diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap harga jual rumah FLPP baik dari sisi besaran maupun tingkat kenaikan berdasarkan kondisi di masing-masing daerah,” kata Eman.

Ia mengusulkan perlu ada zonasi khusus perumahan subsidi terutama untuk daerah-daerah yang terpencil dan jauh dari jangkauan. Contohnya, kata Eman, harga jual rumah FLPP di Provinsi Sumatera Barat pada 2017 yang sebesar Rp 123 juta per unit, tidak realistis diberlakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, meskipun berada di Sumatera Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *