KOLOM – Awalnya saya heran, ketika ahad petang, 26-01-2020, Dt. Mohammad Sahar kolega boss AWQAF mengajak bertandang khusus ke The LINC @thelinckl. Seakan berujar, tengoklah, “pohon tua yang dilestarikan”.
Pohon yang bertuah dan perkasa itu menarik kesan. Menggugah “pohon” intelektual saya. Pohon yang parlente. Dikawal konstruksi bertulang. Kokoh menjulang. Tidak diusik. Dipagari apik. Dibiarkan tumbuh berterusan dan harmoni. Dengan mall, pohon tak beradu gelanggang. Pun tetamu datang tambah senang. Rombongan The HUD Institute yang datangi The LINC KL, pun sumringah senang.
[irp]
“Take a breath. Take a break. And take your time to enjoy, explore and get inspired by a retail experience set in one of Kuala Lumpur’s last green areas”. Begitu ajakan juncto bujukan bertandang ke sana, versi website resminya, https://www.thelinckl.com.my
Tagline The LINC KL: ‘Staying Real, Naturally’. Tak hendak tak natural. Seakan membuat alibi, lingkungan dan mesin ekonomi tak vis a vis di sini. Letak “portable mall” itu di 360 Jalan Tun Razak, Taman U Than, KL. Bukan sembarang kawasan. Ruang emas yang mahal.
Petang itu kami nge-LINC tak sekadar nge-mall. Malah bergerombol. Ibarat pohon, dahan, ranting, dan buahnya banyak. Begitulah bernas percakapan kami, idemditto gelaknya banyak. Subyek diskusinya: “rental economic”. Begitu Dt. Mohammad Sahar Mat Din, vice President AWQAF –kolega kental Zulfi Syarif Koto alias Pak HUD– menyebut sebuah istilah yang menghentak pangkalan pikiran hukum saya. Model bisnis antara pemilik tanah dan tegaknya The LINC KL ini adalah contoh konkrit “rental economic” yang diulasnya.
Kami membeli kopi. Menyewa tempat. Plus meja dan kursi, dan panorama real naturally. Bukan membeli tempat, dan menyewa kopi. Sesi sembang-sembang ikhwal jurus ekonomi yanh menjaga ko-eksistensi, pun makin perkasa berisi. Saling menjaga tak saling menegasi.
[irp]
Encik Dr.Sahar membuat dalil menantang ikhwal ekonomi perumahan di perkotaan: Sewa saja! Tak perlu beli. Lebih cuan sewa dari beli, karena harga ruang mahal. Analoginya, apa perlunya membeli kebun kopi untuk mereguk setangkup kopi gayo long berry? Karena perumahan kota itu mahal, beli kredit hanya kayakan bank. Sinonim ribawi.
Hasrat ekonomi dan proteksi hukum bisa nyata tersambungkan dengan lingkungan hijau lestari. Buatlah aturan yang ‘Staying Real, Naturally’. Usah risau, sewa saja lawyer –dan segenap pendukungnya– yang peduli kepentingan publik. Agar alam lestari apa adanya. Seperti iradat nama kedai kopi ini: Ben’s.
Ada yang tau arti kata ‘Ben’ bahasa Jawa? “Yo wes ben”, artinya membiarkan orang lain atau suatu kondisi tetap apa adanya. Tanpa campur tangan. Tanpa mengusili kondisi atau orang pribadi.
“Yo wes ben”, biarkan mesin ekonomi dan lingkungan ko-eksiatensi & ko-laborasi. Di The LINC KL, kita sewa meja dan kedainya. Kopinya jangan sewa. Beli dan nikmati sampai tetes terakhir. Rental economic of housing. Semudah mereguk kopi? Esoknya, Senin, 27-01-2020, The HUD Institute belajar Islamic Finance Landscap ke Salihin, bossnya Encik Salihin Abang, Managing Partner Founder yang juga Tresury General Dewan Perdagangan Islam Malaysia. Saya membatin, akankah ekonomi shariah menjadi life style? Pun, berkah yang staying real, naturally. Tabik.
MUHAMMAD JONI, SH., MH.
Managing Partner Law Office Joni & Tanamas
Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute
email: mhjonilaw@gmail.com