BERITA PROPERTI – Sebagai praktisi dan pelaku industri properti, khususnya perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), Asmat Amin paham betul bahwa menyediakan rumah murah bagi mereka yang membutuhkan bukan perkara gampang. Oleh karena itu, ia berharap semua stakeholder bisa membantu pemerintah guna menyelesaikan permasalahan perumahan yang masih menganggu.
Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati (SPS) Group ini mengatakan, diperlukan formula yang jitu guna menutupi kebutuhan rumah bagi MBR di Indonesia saat ini. Pemerintah menghadapi backlog atau kebutuhan terhadap hunian saat ini mencapai 11 juta unit. Jumlah ini akan terus meningkat karena rata-rata setiap tahunnya kebutuhan hunian mencapai 800 ribu unit per tahun.
“Kalau di hitung-hitung, minimal harus bisa terbangun rumah sebanyak tiga juta unit pertahunnya agar bisa menyelesaikan permasalahan backlog tersebut dalam waktu singkat. Sementara untuk program pembangunan satu juta unit pertahun saja, masih belum maksimal pencapaiannya. Jadi memang masih diperlukan kerja keras untuk menyelesaikannya,” ujar Asmat di Hotel Ambhara, Selasa (4/9) kemarin.
Maka dari itu, Asmat menyarankan agar dalam lima tahun ke depan pemerintah membuat program pembangunan rumah bagi MBR tersendiri yang lebih massif, terstruktur, dan terencana guna mengatasi persoalan tersebut. Pemerintah juga harus berani menawarkan insentif yang menarik bagi dunia usaha sehingga developer baik BUMN maupun swasta dengan sendirinya berbondong-bondong membangun hunian terjangkau bagi MBR.
“Saat ini, kan hampir semua developer enggan membangun hunian murah lantaran belakangan ketersediaan tanah untuk pengembangan hunian MBR di sejumlah wilayah strategis sudah semakin langka. Kalaupun ada, pasti harganya sudah selangit yang sulit dijangkau oleh pengembang. Apalagi bila skala bisnis mereka kecil dengan kemampuan finansial yang minim,” ungkapnya.
Asmat Amin memaklumi bahwa keengganan developer membangun hunian bagi MBR tidak terlepas dari sejumlah insentif dari pemerintah, seperti skema FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan properti) dan subsidi bunga kredit hunian belum mampu memikat minat dunia usaha sektor properti. Selain itu, ketentuan harga unit dan luasan rumah subsidi yang cenderung sama di tiap-tiap wilayah, dimana masing-masing dipatok Rp140 jutaan dan Rp7,8 – 8 juta per meter persegi.
Ketentuan itu, terbilang sumir dan tidak relevan lagi dengan kondisi bisnis saat ini. Sebab, pada praktiknya para pengembang kerap kesulitan melakukan hitung-hitungan bisnis pengembangan proyek hunian MBR dengan keuntungan yang wajar karena karakteristik bisnis serta daya beli masyarakat di masing-masing wilayah berbeda-beda.
Seharusnya, pemerintah menentukan nilai jual rumah subsidi sesuai ilmu perbankan, dengan cara menghitung sepertiga besaran UMR (upah minimum regional) masing-masing daerah dikalikan 20 tahun plus bunga cicilan 5% per tahun. Misalnya, di Kota Subang dengan UMR Rp2,7 juta, maka akan ketemu angka sebesar Rp226 jutaan (1/3 UMR = Rp900.000,- + bunga cicilan 5% = Rp45.000,- x 240 bulan). Begitu juga di Karawang, dengan UMR Rp4,5 juta maka akan ketemu harga Rp340 jutaan per unit.
Jadi, dengan ukuran 25 meter per segi, maka harga rumah subsidi akan berbeda-beda sesuai karakteristik dan daya beli masyarakat di satu dearah. Skema ini juga memungkinkan pengembang untuk men-down grade luasan unit menjadi lebih kecil ketika hitung-hitungan bisnisnya tidak masuk karena harga tanah di daerahnya lebih mahal. “Perhitungan harga rumah subsidi seperti ini lebih fair dan menarik bagi developer ketimbang skema harga yang diberlakukan Pemerintah saat ini,” tambahnya.
“Jadi, apabila ingin menyelesaikan persolan backlog rumah dalam lima tahun ke depan, maka Pemerintah harus mampu membangun sekitar 3 juta unit per tahun. Inilah yang harus di-create oleh Pemerintah dengan cara merevisi harga rumah subsidi berdasarkan daya beli masyarakat di setiap kota, menawarkan insentif menarik, dan jangka waktu kredit yang lebih panjang dengan bunga ringan,” saran Asmat.
Penghargaan Dari BTN
Pada ajang BTN Property Award yang digelar pertengahan Agustus 2018 lalu, SPS Group kembali menyabet penghargaan sebagai “Pengembang KPR Subsidi Terbanyak”. Ini merupakan penghargaan ketiga kalinya diraih SPS Group selama tiga tahun berturut-turut, sejak 2015 silam. Bukan itu saja, pada ajang yang sama perseroan juga mampu menempati posisi runner-up sebagai “Pengembang KPR Komersial Terbanyak”.
Lebih lanjut dikatakan Asmat Amin, bagi MBR, tahun ini SPS Group mempersiapkan empat proyek, mencakup satu area pengembangan sebelumnya dan tiga merupakan yang terbaru. Semua proyek masih fokus di sekitar wilayah timur Jakarta, seperti di Karawang, Purwakarta, hingga ke Subang, Jawa Barat.
Keempat proyek tersebut yaitu Grand Cikarang City 2 seluas 70 hektare dengan 6.700 unit, Grand Karawang Residence dengan lahan mencapai 500 hektare dan terdiri dari dua proyek. Letaknya yang berada di dekat pintu tol dan kawasan industri tersebut kian menambah optimis perusahaan untuk kembali meraih kesuksesan pada tahun ini. Pada tahap awal akan dibangun sekitar 4.300 unit rumah subsidi di lahan sekitar 100 hektare. Lalu, Grand Subang Residence seluas 30 hektare dengan total 2.800 unit dengan dan Grand Purwakarta Residence seluas 300 hektare.