Propertynbank.com – Kontroversi Dana Tapera bukan tanpa alasan kuat. Adanya gap antara eksosistem Tapera dengan ekosistem BPJS TK, yang memiliki mandat Layanan Manfaat Tambahan (LMT) penyediaan perumahan, yang tidak diantisipasi dan sinkronisasi.
“Alhasil menambah akumulasi tarif dan iuran yang dibayarkan bersifat mandatory, agresif tanpa pembatasan kriteria, batas punya rumah atah belum, dan bahkan diperluas sampai pekerja mandiri yang tak lain pekerja informal dengan PP 21 Tahun 2024 mengubah PP No.25/2020,” ujar Praktisi Hukum Perumahan, Muhammad Joni.
Mustinya, kata Joni, ada analisis gap ekosistem itu dan analisis ekonomi atas beban biaya agar tidak memberatkan. Namun, diskemakan dengan model bisnis menguntungkan peserta, bukan kelembagaannya apalagi menggunakan Manajer Investasi.
Baca Juga : PBG Jangan Hambat Perumahan MBR, Ini 5 Catatan Muhammad Joni
Menurut Muhammad Joni, oleh karena perumahan adalah kebutuhan dasar, hak dasar, HAM dan hak konstitusional, maka tidak boleh lepas kewajiban negara. Ya, termasuk dalam hal menanggung alokasi fiskal yang menjadi Dana Tapera. Analog iuran pemerintah atas peserta tidak mampu alias MBR.
“Tapera harus terapkan prinsip goyong royong berbasis negara, karena itu tanggungjawab konstitusi negara, bukan aktor non negara. Yakni antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Jangan hanya pekerja dan pemberi kerja. Karena mandat UUD ada pada Negara, terutama pemerinrah Psl 28H ayat 1 jo Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945,” kata dia.
Kelola Dana Tapera
Gap ekosistem itu, sambungnya, harus diatasi dengan harmonisasi kedua ekosistem dan transformasi tata kelola dan kelembagaan. Secara formil tata cara perumusannya? Bicarakan dengan stakeholder secara partisipatif bermakna (meaningfull participation) yang berkeadilan, dan Government must Lead.
“Atasi kesenjangan, dengan harmonisasi gao ekosistem, berbasis konstitusi sebagai legitimator, pro peserta, dan lakikan Re-TAPERA,” ungkap Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) dan Sekjen PP IKA USU ini.