Propertynbank : Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Uji Formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptakerja), yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) serta menyatakan UU Ciptakerja inkonstitusional/bertentangan dengan UUD 1945 meskipun dinyatakan secara bersyarat.
Seperti diketahui, pada Kamis 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya dalam perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 telah mengabulkan Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja yang pada pokoknya menyatakan:
- Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan”;
- Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan;
- Memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Inkonstitusional secara permanen;
- Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka Undang-Undang atau Pasal-Pasal atau Materi-Materi yang telah dicabut atau di ubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali;
- Menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebagai pengamat amatiran dibidang Perumahan, penulis belum melihat pasal pasal mana yang harus diperbaiki dalam UU no 11 tahun 2020 tentang Ciptakerja tersebut.
Dalam UU Ciptakerja terutama dalam pasal 50 dan 51 jelas merupakan revisi UU no 1 tahun 2011 tentang PMP serta UU no 20 tahun 2011 tentang Rusun. Tentunya dalam hal ini Kemenpupr tidak akan tinggal diam untuk membenahi pasal 50 dan 51 tersebut.
Apalagi dalam dengan adanya UU Ciptakerja sudah terbit PP 12 tahun 2021 merevisi PP 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Perumahan dan Kawasan Permukiman. Selain sudah terbit PP no 12 tahun 2021 juga terbit PP 13 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Rumah Susun dan yang baru terbit setelah diundangkan pada tahun 2011.
Sejenak melihat pasal 50 UU Ciptakerja sebagai revisi UU no 1 tahun 2011 tentang PKP ada sekitar sekitar 17 pasal, tidak ada yang dihapus. Sedangkan untuk Pasal 51 sebagai revisi UU no 20 tahun 2021 tentang Rusun, ada sekitar sekitar 18 pasal yang direvisi dan ada 6 pasal yang dihapus.
Selanjutnya dalam PP 12 tahun 2021 tentang revisi PP no 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan ada langkah kemajuan yang positif dimana dalam PP no 14 tahun 2016 masalah Hunian Berimbang belum tersurat rinciannya namun dalam PP 12 tahun 2021 dijelaskan secara rinci tentang rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah.
Dalam menindaklanjuti UU Ciptakerja, Kemenpupr selaku regulator dibidang Perumahan tergolong cepat dalam menindaklanjutinya. Dari sekitar 49 PP yang terbit sebagai turunan UU Cipta kerja dua diantaranya inisiasi dari Kemenpupr yaitu PP 12 dan PP 13 tahun 2021.
Mengingat dalam amar putusan MK memberi kesempatan dua tahun untuk memperbaiki UU Ciptakerja, tentunya para pelaku bidang Perumahan tidak boleh tinggal diam untuk mengevaluasinya terutama di pasal 50 dan 51.
Walaupun merevisi UU Ciptakerja ini ranah DPR, DPD dan Pemerintah, pelaku Perumahan tidak boleh tinggal diam, melalui Asosiasi Pengembang terutama REI, Apersi maupun Asosiasi lainnya bisa berikan masukan.
Semoga aturan perundangan masalah perumahan akan membuat atasi Backlog Rumah lebih efektif.
(Disunting oleh Marsda TNI Purn Tumiyo/mantan Ketua YKPP/mantan Dewas Perum Perumnas/Staf Ahli DPP LVRI)