
BERITA PROPERTI – Malang nian nasib pengembang rumah sederhana di tanah air akhir-akhir ini. Pasalnya, berbagai masalah yang dihadapi selama ini mulai dari susahnya perijinan, banyaknya pungli (pungutan liar) di berbagai instansi, bantuan sarana dan prasarana yang masih jauh dari harapan hingga masalah pembiayaan, belum juga terselesaikan dengan baik.
Belum selesai masalah-masalah tersebut, habisnya kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang terjadi pada tahun ini, juga ikut membuat para pengembang rumah sederhana kian merana. Alih-alih untuk menentukan target pembangunan rumah subsidi untuk tahun depan yang tinggal hitungan hari, bicara pencapaian tahun ini saja sudah tidak bisa.
[irp]

“Kacau balau semuanya, kami tidak berani menentukan berapa target pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah untuk tahun depan. Kami benar-benar berharap ada solusi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ini, agar program sejuta rumah dapat terwujud dengan baik,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah, di agenda Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan HUT ke 21 Apersi di Red Top Hotel, Jakarta Pusat, Rabu, (11/12).
Dalam kondisi begini, lanjut Junaidi, pemerintah khususnya Kementerian pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dituntut harus lebih kreatif dan inovatif mencari solusi, misalnya dengan berkreatifitas mengembangkan skema pembiayaan rumah subsidi yang ditujukan untuk masyarakat berpengahsilan rendah (MBR).
“Kami berharap tahun depan urusan rumah subsidi ini ada perbaikan karena pengalaman tahun ini menyebabkan banyak masyarakat yang membutuhkan rumah tak terakomodasi keinginannya untuk punya rumah. Padahal pemerintah sendiri yang mencanangkan rumah subsidi dan merupakan bagian dari program sejuta rumah,” tegas Junaidi.
[irp]
Sebetulnya, kata Junaidi pada tahun 2020 kebutuhan rumah untuk subsidi adalah sebesar 250 ribu unit dan mengalami kenaikan 20 ribu unit setiap tahunnya. Namun, ironisnya anggaran subsidi melalui skema FLPP sebesar Rp9 triliun, hanya bisa memenuhi untuk kebutuhan 80 ribu unit. Sementara untuk program BP2TB hanya bisa membangun 40 ribuan unit dan diperkirakan akan habis pada tengah tahun.
“Jumlah subsidi tahun depan akan lebih cepat habis sehingga harus ada jalan ke luar agar pengalaman tahun ini tidak terulang lagi. Kami berharap agar pemerintah kembali menghitung kembali dana yang ada dengan melihat potensi dana yang ada di pemerintah dan juga perbankan agar mendorong jumlah unit agar lebih banyak. Selain itu, tingkat suku bunga acuan tidak memberatkan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, kata Junaidi, pemerintah juga harus tetap mempertahankan skema FLPP karena program ini tak menambah beban pemerintah dan sifatnya dana bergulir. Berbeda dengan pembiayaan perumahan berbasis tabungan atau BP2TB yang bentuknya merupakan pinjaman dari Bank Dunia, walaupun dia tetap mendukung adanya kedua program tersebut dijalankan.
[irp]
“Apersi juga mengusulkan agar anggaran untuk pembangunan prasarana, sarana dan utilitas (PSU-red) bisa digulirkan ke FLPP. Hal itu dikarenakan pembangunan PSU bisa dilakukan swadaya oleh pengembang. Dana PSU dengan anggaran terbatas menyebabkan sebagian pengembang tidak bisa menikmati dan ada perasaan tidak adil,” ujar Junaidi.