Property & Bank

Beberapa Catatan Dalam RUU Cipta Kerja Terkait Rumah Susun

rusunawa
Pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) untuk mahasiswa di Jawa Tengah

KOLOM – Bisa jadi karena masalah Covid-19, gaung mengenai RUU Cipta Kerja agak meredup. Semangat pemerintah pada akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 yang sebelumnya hendak menyelesaikan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, tampaknya meredup dan status pembahasannya menjadi tidak begitu jelas. RUU Cipta Kerja juga merevisi undang-undang rumah susun (UU Rusun). Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan pelaku pembangunan terhadap perubahan-perubahan tersebut.

Kewajiban membangun rumah susun (rusun) umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun tetap diatur di dalam RUU Cipta Kerja. Namun ada pengaturan bahwa jika rusun umum tidak dibangun dalam satu lokasi kawasan rusun komersial, pembangunan rusun umum dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang sama atau dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Apakah ketentuan ini mengartikan pembangunan rusun umum bisa dilaksanakan di provinsi lain karena berbatasan dengan kabupaten/kota pada salah satu provinsi? Misalnya, kewajiban rusun umum di Jakarta Timur dipindah ke area Kota Bekasi? Pada UU Rusun yang berlaku, tidak ada peluang untuk membangun di kota/kabupaten yang berbatasan.

[irp]

RUU Cipta Kerja juga menghilangkan ketentuan bahwa gambar dan uraian untuk memisahkan rusun menjadi dasar untuk menetapkan NPP, SHM sarusun (satuan rumah susun)atau SKBG sarusun, dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Tidak begitu jelas mengapa ketentuan ini dihilangkan mengingat esensinya, pemisahan rusun yang juga meliputi pertelaan akan menunjukkan secara jelas berapa NPP dari setiap satuan rusun. Selanjutnya, pengesahan akta pemisahan tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah (pemda) melainkan pemerintah pusat. Ketentuan ini selaras dengan berbagai ketentuan lain terkait perizinan yang hendak ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Istilah ‘IMB’ hilang dan diganti menjadi ‘Persetujuan Bangunan Gedung’. Namun dari definisi yang diberikan, dari definisi IMB di dalam peraturan pemerintah bangunan gedung dan definisi Persetujuan Bangunan Gedung di dalam RUU Cipta Kerja, tidak tampak perbedaan berarti, selain dari instansi yang menerbitkannya. IMB diterbitkan oleh pemda, sedangkan Persetujuan Bangunan Gedung akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal serupa terjadi untuk sertifikat laik fungsi (SLF). Permohonan SLF diajukan kepada pemerintah pusat, bukan lagi ke pemda.

[irp]

Hal yang berubah cukup substansial adalah terkait persyaratan kepastian terkait penandatanganan PPJB. RUU Cipta Kerja menghilangkan syarat keterbangunan paling sedikit 20% menjadi hanya keterbangunan rusun. Apakah ini berarti PPJB bisa dilakukan meski belum ada bangunan sama sekali? Tampaknya begitu. Jika demikian, maka pengembang bisa kembali ke masa sebelum UU Rusun 2011 dimana hanya berdasarkan dokumen perencanaan, tapi tetap memperhatikan syarat-syarat lain seperti status kepemilikan tanah, perolehan Persetujuan Bangunan Gedung, pengembang sudah bisa menandatangani PPJB dengan para pembeli. Ini tentu berita baik untuk pengembang, tapi tidak baik untuk konsumen, karena esensi pengaturan paling sedikit 20% adalah untuk melindungi para pembeli, meski ketentuan tersebut bukan juga suatu jaminan bahwa rusun akan diselesaikan.

Pengaturan substansial lain ada pada ketentuan pidana berkenaan dengan kewajiban pembangunan rusun umum. UU Rusun mengatur bahwa pelanggaran tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 20M. Di RUU Cipta Kerja, tidak lagi berupa sanksi pidana, tapi sanksi administratif berupa denda maksimal Rp 20M. Jika denda tidak dibayarkan, pengembang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Ketentuan mengenai denda administratif ini memberikan kesempatan bagi pengembang untuk tidak langsung berhadapan dengan proses penyidikan dan penuntutan di pengadilan. Ini tentunya positif untuk dunia usaha. Revisi serupa juga terjadi jika pengembang membuat PPJB tidak sesuai dengan yang dipasarkan atau sebelum memenuhi persyaratan kepastian yang ditentukan. UU Rusun mengatur jika itu dilakukan, maka pengembang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 4M. Sedangkan, RUU Cipta Kerja mengatur, jika terjadi pelanggaran, pengembang akan dikenai sanksi administratif maksimal Rp 4M dan jika tetap tidak dilakukan, dipidana paling lama 4 tahun.

Terlihat bahwa beberapa usulan perubahan di dalam UU Rusun esensinya untuk memberikan kemudahan bagi dunia usaha, tapi tetap memastikan kewajiban tersebut dituntaskan. Usulan perubahan mencakup keselarasan istilah mengingat kewenangan perizinan dicabut dari pemda ke pemerintah pusat dan kemudahan bagi pengembang untuk mengembangkan suatu properti. Namun, tentunya usulan-usulan ini tidak bisa dilihat secara parsial karena ketentuan menyangkut PPPSRS juga sangat berdampak bagi pengembang, khususnya yang mengembangkan rusun campuran. Tapi sayang hal itu tidak disentuh di dalam RUU Cipta Kerja. Oleh karena itu, jika pun usulan-usulan revisi ini diundangkan, beberapa permasalahan rusun yang saat ini aktual kemungkinan besar tetap akan ada.

Penulis : Eddy M. Leks, (Leks&Co), Konsultan dan Praktisi Hukum Properti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini