BERITA PROPERTI – Penyebaran virus corona yang makin luas dikhawatirkan mengguncang kinerja berbagai sektor industri, termasuk sektor properti. Mengantisipasi hal tersebut, asosiasi pengembang merasa perlu ada gebrakan khusus jika pemerintah tak segera mengambil langkah cepat.
Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan sektor properti jelas terkena dampak dari pandemi virus corona jenis baru atau Covid-19, terutama dari ambrolnya perekonomian nasional. Pemerintah belum memperhatikan secara tegas bisnis real estate di tengah wabah Covid-19.
[irp]
Totok menilai langkah antisipasi dianggap penting karena pandemi virus ini tak bisa diprediksi efeknya dan seberapa besar pengaruhnya ke perekonomian. Ia menguraikan beberapa masalah yang harus segera diantsipasi, seperti pajak penghasilan (PPh) final dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
“Sesuai PP 34/2016, perhitungan PPh Final berdasarkan transaksi. Tidak berdasarkan nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Sehingga Issue NJOP terlalu mahal atau over value untuk perhitungan PPh Final, sudah tak ada. Untuk tarif, harus berbicara ke Presiden karena diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah),” bilang Totok, pada Rabu (29/04).
[irp]
Sebagai catatan, NJOP merupakan kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda). Khusus untuk provinsi DKI Jakarta, secara resmi ssudah diputuskan tidak ada lagi kenaikan NJOP untuk tahun 2020
Sedangkan untuk BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), Totok menyebut, dalam Surat Edaran (SE) Mendagri dan Pedoman PSBB yang dikeluarkan oleh Pemda, ada pasal yang mengatur pemberian insentif PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
[irp]
“Jika mengacu pada Perda mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) masing-masing Daerah, diskresi Kepala Daerah ialah memberikan diskon hingga 50%. Khusus DKI Jakarta dan mungkin beberapa daerah lainnya, ada pembebasan BPHTB dengan persyaratan tertentu. Bisa saja diusulkan untuk bebas dan atau diskon BHPTB,” terang Totok.
Imbas pandemi ini, kata pria asal Surabaya ini membuat karyawan lebih berhati-hati melakukan pengeluaran, lantaran pendapatan mereka tak menentu, terutama yang melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Pendapatan turun drastis, sehingga akan mengganggu pos gaji secara keseluruhan, walau ada perusahaan yang beroperasi, tapi daya belinya juga menurun,” ungkapnya.
Kredit pemilikan rumah (KPR) pun diyakini Totok menjadi isu yang dominan. Ia menyebut jika bank akan lebih berhati-hati dalam memberikan KPR baru, terlebih Pasar kelas bawah pasti memilih KPR dan sangat kecil yang tidak bergabung dengan sistem KPR.
[irp]
“Selain KPR, ada restrukturisasi kredit. Jika pelaksanaan restrukturisasi kredit sulit, maka akan menjadi isu yang sensitif di kalangan konsumen. Keinginan membeli dengan sistem KPR akan turun drastis, karena mereka khawatir sulit melakukan rekstrukturisasi,” sergahnya.
Pasar Secondary, tambah Totok, turut layak dibicarakan. Ia menilai Konsumen yang dilanda kesulitan pendapatan, kemungkinan besar akan menjual rumahnya dan memilih tinggal dengan mertua atau orangtuanya. “Pasar Primary harus bersaing dengan secondary. Ini bisa menurunkan harga dan membuat primary sulit jualan,” jelasnya.
Meski demikian, ia mengaku relaksasi KPR sudah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). “Down Payment (DP) diturunkan, malah Bank diperkenankan DP 0%, tapi Bank jarang melaksanakannya. Biasanya minimal 5%, sangat jarang 0%. Lalu, rumah indent bisa sampai dua, pencairan dipermudah dan akad kredit langsung cair,” paparnya.
[irp]
Dari situasi yang ia paparkan, Totok pun lalu memberi proyeksi insentif untuk Sektor Real Estat – Bisnis Pengembang (jual beli). Diantaranya BPHTB mendapat insentif karena sudah ada dasarnya SE Mendagri dan Pedoman PSBB dari Kepala Daerah.
“Bisa saja BPHTB dari nilai transaksi atau diskon tarif BPHTB, dan atau dihitung dari nilai transaksi. Atau insentif dibagi 2, untuk pengembang atau Primary, dan untuk Secondary. Untuk pengembang ada sistem khusus, karena harus menghidupi karyawan. Sedang perorangan untuk dirinya sendiri. Tapi, tetap dapat insentif meski tak sebesar Primary,” terang mantan Ketua Pengprov FORKI Jawa Timur ini.
[irp]
Selain itu, ia menyarankan agar KPR baru dipermudah atau disesuaikan dengan kondisi yang terjadi, sementara KPR lama dibantu untuk restrukturisasi. Totok juga berharap agar media penjualan online lebih diberdayakan, karena dalam situasi PSBB pergerakan dibatasi, sehingga orang sulit untuk datang ke kantor pemasaran
“Ijin dipermudah dan dapat diproses tanpa harus membayar atau melunasi pajak bumi dan bangunan (PBB) terlebih dahulu, sehingga perusahaan bisa punya dana segar untuk operasional. Insentif PBB untuk pengembang, bisa berupa diskon PBB dan juga pembayaran di akhir tahun, atau diangsur sampai pertengahan tahun depan,” pungkasnya. (Artha Tidar)
2 Responses