BERITA PROPERTI – Setelah selama lima tahun, harga jual rumah subsidi tidak mengalami kenaikan, maka dipenghujung tahun 2018 ini, para pengembang yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI) mengusulkan untuk dilakukannya penyesuaian harga. Hal ini dilakukan guna lebih meningkatkan kualitas hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dibangun oleh pengembang.
“Usulan sudah diserahkan kepada Kementerian PUPR untuk dibahas. Besaran kenaikan harga ditetapkan berdasarkan analisa harga yang diperoleh dari semua daerah, dirangkum dan dibandingkan menjadi satu harga yang paling ideal. Rata-rata seharusnya setiap daerah kenaikannya sekitar 10%, namun kami mengusulkan kenaikan setiap tahun hanya sekitar 7,5% dari sebelumnya 5% per tahun guna tetap menjaga harga masih terjangkau oleh masyarakat,” ujar Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata.
Pernyataan itu disampaikan oleh Eman, sapaan akrab Soelaeman Soemawinata, dalam Diskusi dan Media Gathering Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jimmers Mountain Resort, Cisarua, Puncak, Bogor, Jumat (28/9) lalu. Menurut Eman, ini baru usulan dari REI, bukan keputusan dan akan diperjuangkan besarannya.
Dikatakan Eman, kenaikan harga rumah subsidi diusulkan karena kendala dan situasi di daerah berbeda-beda, ada yang tanah keras, tanah sawah, tanah rawa, tanah lepung dan lain-lain, sehingga biaya untuk pematangan lahannya juga berbeda-beda. Ketersediaan material setiap daerah juga berbeda-beda, dimana ada yang mudah dan sulit seperti daerah-daerah di ujung timur Indonesia, atau di daerah kepulauan. Semua faktor itu perlu dipertimbangkan, dan tidak bisa disamaratakan.
Lebih lanjut dijelaskan Eman, sepanjang 2017 lalu, REI sudah membangun sekitar 206 ribu unit rumah bersubsidi. Pencapaian tersebut, adalah raihan terbesar secara asosiasi. Sedangkan tahun ini, REI menargetkan pembangunan 230 ribu unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jika ditambah dengan 178 ribu rumah nonsubsidi baik tapak maupun apartemen yang dibangun anggota REI pada 2017, maka tahun lalu kontribusi REI setidaknya mencapai 384 ribu unit atau hampir 40% dari capaian Program Sejuta Rumah (PSR).
‘Bisa dikatakan bahwa REI adalah penyumbang terbesar dalam PSR. Ini sejalan dengan tagline REI sebagai garda terdepan membangun rumah rakyat. Kita harus dukung terus program ini, karena program ini kebetulan kompetensinya ada di REI, jadi pengalaman kita ada disitu,” ungkap Eman. Dengan membantu masyarakat membangun rumah, kata Eman, maka anggota REI bisa bekerja sekaligus beramal. Bekerja untuk bisnisnya, dan beramal karena membantu banyak orang yang ingin punya rumah.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Dadang Rukmana yang juga hadir sebagai salah satu pembicara mengatakan, usulan penyesuaian harga rumah subsidi yang diajukan oleh pengembang saat ini masih di bahas di kementerian.
“Dalam menetapkan harga, akan tetap melibatkan lembaga riset, pelaku usaha, tenaga ahli analisis keuangan dan tenaga ahli kebijakan publik, dan lain-lain. Kementerian PUPR akan memperhitungkan bebebapa komponen yakni baiay lahan dan PSU lingkungan, biaya prodiksi rumah, biaya perizinan, overhead, zonasi wilayah, dan inflasi,” ujar Dadang Rukmana.
Dalam diskusi yang diikuti oleh sejumlah media nasional yang tergabung dalam Forwapera tersebut, juga hadir pengamat konstruksi dan juga Ketua Ikatan Ahli Pracetak dan Prategang Indonesia (IAPPI) Hari Nugraha Nurjaman, yang menyoroti pembangunan rumah subsidi dari sisi konstruksi dan kualitas bangunan.
“Formulasi perhitungan harga rumah subsidi yang realistis sudah tersedia sehingga penentuan harga akan mudah untuk disepakati. Industri perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus menjadi sumber penggerak ekonomi karena survey menunjukkan segmen ini justru adalah yang terbesar,” kata Hari Nugraha.