scatter hitam
Pengenaan Kompensasi Terhadap Pelampauan Nilai KLB Sebagai Mekanisme Developer Contribution di DKI Jakarta - Property & Bank

Property & Bank

Pengenaan Kompensasi Terhadap Pelampauan Nilai KLB Sebagai Mekanisme Developer Contribution di DKI Jakarta

jakarta
Gedung perkantoran di Jakarta

UMUM – Permintaan untuk meningkatkan ketinggian high-rise building di DKI Jakarta dari apa yang ditetapkan dalam rencana kota, meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Skyscrapercenter (2020) gedung pencakar langit pertama di Jakarta muncul pertama kali di tahun 1972 dengan ketinggian 117 m.

Kejadian krisis di sekitar tahun 1997 dan 2004 membuat pembangunan gedung tersebut tersendat (Skyscrapercenter, 2020). Jumlah tersebut kembali meledak di tahun 2015-2017 dengan ketinggian >200 m. Menurut grafik tersebut angka ketinggian ini digambarkan kembali meningkat di tahun 2020 menjadi >300 meter (Skyscrapercenter, 2020).

[irp]

Pada awalnya untuk mengatur intensitas pemanfaatan lahan pemerintah mengeluarkan aturan seperti Koefisien Lantai Bangunan (KLB)/Floor Area Ratio (FAR). Tujuan adanya KLB yaitu sebagai upaya pengendalian intensitas bangunan agar tidak dibangun melebihi luas yang diperbolehkan (Liong, et. al., 2020).

Awalnya aturan KLB yang ketat dianggap tidak akomodatif terhadap perkembangan Kota Jakarta. Menurut Liong et. al. (2020) sulitnya melakukan pembebasan tanah di Indonesia yang diperburuk dengan adanya peningkatan harga tanah baik terutama di pusat kota membuat pengembang lebih memilih untuk membangun secara vertikal karena dianggap lebih cepat, lebih murah, dan lebih menguntungkan pengembang.

[irp]

Selain itu dengan adanya simbol dan budaya yang menganggap bahwa dengan adanya bangunan yang lebih tinggi maka kota maupun pengembang tersebut dianggap lebih bergengsi dan lebih sukses membuat pengembang berlomba-lomba membuat gedung yang lebih tinggi (Liong, et. al., 2020). Dampak negatif dengan adanya peraturan yang rigid maka akan membuat pengembang kehilangan fleksibilitas dalam melakukan inovasi (Liong, et. al., 2020). Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan pengembang melakukan peningkatan KLB dengan syarat kompensasi tertentu.

Kebijakan ini bukan merupakan suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak tahun 1975. Akan tetapi saat itu hingga beberapa tahun setelahnya masih banyak kebijakan yang tergolong diskresi gubernur saja (Liong, et. al., 2020). Ketika Basuki Tjahaja Purnama terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2014, Ia merubah sistem peningkatan KLB di Jakarta menjadi lebih transparan dan adil dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Ia menetapkan Pergub DKI Jakarta No 175/2015 tentang pengenaan kompensasi terhadap pelampauan KLB. Tujuannya yaitu sebagai alternatif sumber pembiayaan infrastruktur perkotaan di DKI Jakarta serta untuk mengawasi, dan mengendalikan pembangunan kota agar fungsi ruang tetap sesuai dengan rencana kota.

Menurut Kepala Bappeda DKI Jakarta disincentive land use merupakan revolusi alternatif mekanisme pembiayaan urban development baru di Jakarta sehingga tidak mengandalkan kucuran dana dari pemerintah (APBD) saja (Surjono, 2020). Salah satu pertimbangan pembuatan pergub ini yaitu untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 621 pada Perda DKI Jakarta No 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi yang bertujuan untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di Ibukota secara bijaksana, bermanfaat, serta berkelanjutan (Kusumastuti, et al., 2018). Hingga saat ini pergub ini telah direvisi sebanyak 3 kali (1x di tahun 2015 dan 2x di tahun 2016). Revisi terakhir yaitu menjadi Pergub DKI Jakarta No 210/2016 tentang pengenaan kompensasi terhadap pelampauan KLB.

Menurut Formosa (2020) kewajiban memberikan kompensasi pada kegiatan pelampauan KLB termasuk ke dalam mekanisme disinsentif karena bertujuan untuk mencegah dampak yang ditimbulkan dari peningkatan intensitas pemanfaatan lahan tersebut. Pergub ini membawa sebagian ciri mekanisme developer contribution karena memiliki kesamaan untuk menjaga asas efisiensi dan keadilan dengan cara menginternalisasikan eksternalitas yang ditimbulkan oleh pengembang. Menurut Carrion dan Libby (2001) di negara yang berbeda, mekanisme semacam developer contribution disebut dengan istilah yang berbeda, seperti: impact fees, benefit assessment, user fees, atau connection charges. Developer contribution merupakan salah satu cara finansial yang digunakan untuk mengurangi celah antara sumber daya yang diperlukan untuk membangun fasilitas umum baru atau meningkatkan fasilitas untuk melayani penghuni baru dan uang yang tersedia untuk tujuan itu (Carrion dan Libby, 2001).

bersambung ke halaman berikutnya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini