
Propertynbank.com – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menekankan pentingnya aspek kepastian dan keberlanjutan menyusul lambatnya realisasi penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Akibatnya, akad KPR FLPP ribuan calon pembeli rumah menjadi tertunda, apalagi ketersediaan rumah (ready stock) yang telah dibangun pengembang jumlahnya cukup banyak.
Ketua Umum DPP REI (Realestat Indonesia), Joko Suranto menegaskan saat ini salah satu kebijakan pemerintah berkaitan pembiayaan perumahan yang terukur dan berkesinambungan adalah FLPP. Hal itu beralasan karena status unitnya jelas, kapan dibangun dan kapan rampung pasti, siapa yang bertanggungjawab jelas, prosedur administrasi dan verifikasi berlapis, serta masyarakat yang menjadi sasaran juga jelas kriterianya.
Ditambahkan, bagi pelaku usaha situasi terberat adalah ketika tidak mendapatkan kepastian. Di 2024, kuota FLPP terbatas, sehingga banyak masyarakat calon pembeli mengantri untuk bisa akad KPR FLPP. Pengembang juga mengalami kesulitan cashflow.

“Di tahun 2025, penyaluran FLPP seharusnya sudah berlari semakin kencang seiring dengan adanya program 3 juta rumah. Karena itu, kami harap pemerintah melalui BP Tapera (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat) dapat mempercepat realisasi penyaluran KPR FLPP tahun ini, karena ready stock rumah sudah banyak dan masyarakat konsumen juga sudah menunggu-nunggu,” ungkapnya pada konferensi pers awal tahun di kantor DPP REI, Simprug, Jakarta, Selasa (4/2).
Baca Juga : BP Tapera Apresiasi Bank Penyalur FLPP dan Asosiasi Pengembang Terbaik di 2024
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana melakukan perubahan skema porsi pembiayaan FLPP dari saat ini 75% APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan 40% perbankan menjadi 50% APBN dan 50% perbankan. Dengan skema yang baru itu, pemerintah juga berharap dapat menambah porsi penyaluran KPR FLPP.
Menurut Joko Suranto, skema baru yang sedang digodok tersebut silahkan saja tetap berlangsung. Namun untuk memberikan kepastian kepada masyarakat calon pembeli dan pengembang yang telah membangun, REI berharap realisasi penyaluran FLPP tahun 2025 yang sudah disetujui pemerintah dapat dipercepat.
Terlebih, kesepakatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara BP Tapera dengan 39 bank penyalur FLPP sudah ditandatangani pada akhir Desember 2024 lalu agar dapat disalurkan sesuai komitmen pada Januari 2025.
Sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah, BP Tapera pada tahun 2025 akan menyalurkan dana FLPP untuk 220 ribu unit rumah atau senilai Rp28,2 triliun.
“Kalau ada rencana kuota FLPP mau ditambah atau skema porsi sumber pembiayaan mau diubah ya silahkan saja, itukan opsi-opsi lain. Tetapi yang sudah ada (disetujui) kami harap realisasi penyalurannya dipercepat saja,” tegas CEO Buana Kassiti Group itu.
Pembangunan perumahan merupakan siklus bisnis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan 180 industri lainnya. Karena itu, kata Joko, mandek-nya siklus ini akan menganggu sektor riil, ada jutaan orang yang bekerja di bisnis perumahan yang terancam dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program 3 juta rumah yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Padahal FLPP selama ini sudah berjalan baik, terukur dan dijalankan secara konsisten.
Baca Juga : Dibutuhkan MBR, Menteri PKP Dorong Kuota FLPP 2025 Segera Disiapkan
Dijelaskannya, dalam program FLPP yang menikmati manfaatnya adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan yang mendapatkan fasilitas likuiditas adalah perbankan. Sementara pengembang sebagai mitra pemerintah dan pelaku ekosistem yang bertugas menyuplai rumahnya. Developer termasuk anggota REI, ungkap Joko, sama sekali tidak menggunakan fasilitas likuiditas tersebut, sehingga kurang tepat jika ada tuntutan berlebihan dari pemerintah kepada pengembang atau asosiasi.
Menyinggung permintaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) agar asosiasi pengembang menyiapkan dana estimasi harga membangun rumah subsidi, REI memandang acuan harga setempat yang dulu telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan menggunakan pedoman harga setempat cukup akurat. Sedangkan pengembang hanya merupakan pengguna (end user) saja.
Joko mengakui, permintaan estimasi kepada asosiasi usaha ini sebenarnya agak janggal karena asosiasi bukanlah institusi yang kredibel secara akademis atau kajian. Menurutnya, mengapa Kementerian PKP tidak menggunakan saja instansi pemerintah yang memang memiliki kemampuan tepercaya di bidang kajian akademis untuk menghitung seperti yang dilakukan Kementerian PUPR dulu dalam menentukan harga rumah subsidi.
“Justru ketika perhitungan tersebut dilakukan oleh banyak pihak maka hasilnya akan bias dan membingungkan, karena pasti hasilnya berbeda-beda,” sebutnya.
Perhitungan bisa berbeda, karena dipengaruhi beberapa faktor. Antara lain dipengaruhi zonasi wilayah atau lokasi, luasan Kawasan pengembangan, serta pola pengemasan proyek seperti ada yang khusus hanya membangun rumah subsidi atau kombinasi antara rumah subsidi dan rumah komersial.