
PROPERTI – Masalah perizinan masih menjadi salah satu penghambat bagi pengembang, khususnya yang membangun rumah sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Oleh karena itu, diperlukan dukungan dan sinergi antar lembaga terkait guna menyelesaikan permasalahan tersebut.
Salah satu kolaborasi tersebut, seperti yang dilakukan oleh Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, dengan menandatangani fakta integritas untuk pengawalan dan pengamanan penyelenggaraan perizinan pembangunan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Indonesia. Keduanya sepakat guna mempercepat program penyediaan rumah rakyat.
[irp]
Direktur Pengamanan Pembangunan Strategis, Idianto mengatakan, program perumahan bersubsidi merupakan proyek strategis nasional yang menggunakan dana negara dan diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sesuai tugas dan fungsi Kejaksaan Agung RI untuk mengawal dan mengamankan penggunaan uang negara, maka langkah pengawalan dianggap perlu untuk memastikan sampai ke tujuan yakni masyarakat berpenghasilan rendah.
“Program rumah rakyat menggunakan uang negara, maka kita wajib mengawal proyek ini supaya bisa berjalan secara baik dan semestinya, termasuk menangkal berbagai potensi ancaman terhadap program pemerintah tersebut,” ujar Idianto usai penandatanganan fakta integritas bersama Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida, di Gedung Kejagung RI Jakarta, Kamis (6/8) kemarin.
[irp]
Dalam agenda penandatangan tersebut, Totok Lusida didampingi Sekjen DPP REI Amran Nukman HD, Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI bidang Perumahan Subsidi dan Aparatur Pemerintahan Moerod, serta Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI bidang Properti Komersial dan Hubungan Kelembagaan Raymond Arfandy.
Lebih lanjut dikatakan Idianto, Kejaksaan Agung sudah mendapatkan laporan dari REI terkait hambatan perizinan pembangunan rumah subsidi di sejumlah daerah. Misalnya ada yang sudah mengajukan izin pembangunan rumah subsidi hampir beberapa tahun tetapi izin tidak dikeluarkan. Padahal, kata Idianto, kendala perizinan seharusnya tidak terjadi, mengingat program pembangunan rumah bersubsidi bagi MBR sudah diatur dalam banyak peraturan.
Antara lain Undang-Undang No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah No 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR, Instruksi Presiden No 5 tahun 2016 tentang Pemberian Pengurangan atau Pembebasan BPHTB dan Retribusi IMB untuk Rumah MBR, termasuk Surat Edaran Kejagung RI tentang Pengamanan Pembangunan Rumah MBR.
[irp]
“Aturan sudah banyak sekali supaya diberi kemudahan perizinan untuk pembangunan rumah MBR. Tetapi justru di daerah tidak dijalankan. Makanya nanti setelah ada laporan dimana saja terjadi hambatan dari REI, Kejagung akan turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan, penangkalan bahkan mungkin sanksi penindakan. Pelaksanaannya kalau tidak terjangkau dari pusat, bisa saja nanti melibatkan Kejati atau Kejari,” tegas Idianto.
Oleh karena itu, dirinya berharap dengan adanya fakta integritas ini semua permasalahan di lapangan yang menghambat pembangunan rumah rakyat bisa teratasi, dan pengembang dapat melakukan pembangunan dengan lebih cepat, lebih bermutu dan tentunya lebih tepat sasaran. Fakta integritas juga akan mengikat semua pihak termasuk pengembang untuk tidak menyimpang dari aturan hukum yang ada.
“Kejaksaan Agung merespon positif niat baik dan komitmen REI untuk bekerja secara benar dan tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Saya kira ini patut diapresiasi,” kata Idianto.
[irp]
Sementara itu, Totok Lusida menyampaikan respek terhadap inisiatif Kejagung RI sebagai pengawal penegak hukum di Tanah Air untuk mengawal proses perizinan di sektor properti khususnya perumahan subsidi untuk MBR. Diakui masalah perizinan masih menjadi hambatan utama yang terjadi di hampir semua daerah. Lama waktu pengurusan perizinan dari awal hingga selesai rata-rata bisa mencapai dua tahun.
“Selama ini hampir 90% khususnya pembangunan rumah MBR, menghadapi kendala, bahkan kadang alasan yang disampaikan aneh dan tidak masuk akal. Padahal PP 64 tahun 2016 yang menegaskan pemberian kemudahan perizinan untuk rumah MBR sudah empat tahun berjalan, namun hampir tidak ada daerah yang menerapkannya,” jelas Totok.
Totok menambahkan, begitu juga dengan instruksi presiden yang telah menurunkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), tetapi sudah empat tahun berlaku masih minim sekali daerah yang melakukannya. Dirinya mengakui banyak sekali peraturan daerah yang sepertinya bertentangan dengan aturan pusat, sehingga dalam istilah kita ada banyak raja-raja kecil di daerah.
[irp]
“Kadang yang di pusat sudah putih warnanya, tetapi di daerah justru berubah menjadi abu-abu bahkan hitam. Mungkin ini pertama kalinya di Indonesia ada bidang usaha yang khusus dikawal supaya tidak ada terjadi tindak pidana. Pengawalan ini juga menuntut pengembang anggota REI agar menerapkan prosedur yang benar, dan tidak melakukan cara-cara yang melanggar hukum,” tegas Totok.
Totok berharap, adanya pengawalan dari Kejaksaan Agung ini, bisa membuat proses perizinan untuk pembangunan rumah MBR lebih cepat dari yang selama ini terjadi. Ia mencontohkan, proses perizinan rumah subsidi di Kalimantan Barat yang dikawal Kejaksaan setempat, sehingga kedepannya perizinan rumah MBR dapat selesai dalam waktu 10 hari.