BERITA PROPERTI – Ditengah masih lesunya industri properti yang disebabkan oleh rendahnya daya beli sebagian masyarakat, pemerintah memberikan harapan baru dengan meluncurkan kebijakan yang sangat mendukung. Lewat Bank Indonesia (BI), pemerintah memberikan kelonggaran untuk aturan Loan to Value ( LTV).
Bagi para pengembang properti, aturan relaksasi LTV ini tentu sangat positif dan diyakini dapat mendorong tumbunnya industri properti. Organisasi pengembang properti tertua di tanah air, Real Estat Indonesia (RE) menyambut positif kebijakan dilakukan oleh Bank Indonesia. Langkah ini dinilai sebagai kebijakan jitu di tengah lesunya industri properti di Tanah Air.
Saat Halal bi Halal Keluarga Besar REI, Kamis (12/7) di Sheraton Hotel minggu lalu, Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata menjelaskan, REI memperkirakan relaksasi tersebut akan mendorong pertumbuhan penjualan setidaknya 10% secara year on year di segmen menengah, khususnya hunian dengan harga Rp 200 juta hingga Rp 500 juta per unit.
“REI mengharapkan terobosan yang dimaksudkan untuk menggerakkan kembali sektor properti itu perlu disempurnakan dengan sinkronisasi dengan beberapa kebijakan lain. Pemerintah perlu meninjau sejumlah peraturan perpajakan yang selama ini kurang ramah terhadap perkembangan industri properti. Antara lain isu penerapan PPN Final, pajak lahan terlantar, PPnBM dan jenis-jenis pajak lainnya yang sudah tidak relevan,” tegas Eman, sapaan akrab Soelaeman Soemawinata.
Ia mencontohlan, PPnBM sebesar 20% untuk rumah tapak mewah seharga Rp 20 miliar dan rumah vertikal strata-title seharga Rp 10 miliar per unit, sebaiknya di tax holiday atau dihilangkan kan saja dulu. Karena menghambat secara psikologis, dimana pengembang akhirnya memilih untuk tidak membangun hunian seharga itu, padahal pasarnya ada.
Selain itu, Eman juga menyoroti maraknya isu penerapan pajak final non final dan penerapan pajak progresif untuk tanah terlantar beberapa waktu lalu yang cukup mengganggu psikologis pengembang. Banyak pelaku usaha properti yang sudah mau bergerak akhirnya memilih untuk menyetop dulu pembangunan. Kondisi itu berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian.
“Berdasarkan sebuah studi ilmiah, sektor properti berkaitan erat dengan hampir 174 industri penunjang ikutan di belakangnya (backward linkage), dan secara forward linkage-nya akan menciptakan investasi baru di kawasan itu, menyumbang pajak buat negara, dan membuka lapangan kerja,” jelas Eman.
Di mall, misalnya kata Eman, dapat terciptakan 2.000 lapangan kerja, sedangkan di hotel sekitar 1.000 orang. Itu semua adalah pekerja permanen, di luar tenaga kerja konstruksi yang bersifat temporary. Oleh karena itu, tegas dia, pemerintah harus terus memberikan perhatian kepada industri properti nasional.
Ia menegaskan, bukan insentif dari sisi angka yang dibutuhkan pengembang misalnya dikasih subsidi,tapi pihaknya berharap diberikan kemudahan dalam proses mengurus perizinan dan jangan dibebani pajak-pajak yang sebenarnya tidak relevan diberlakukan. Pemerintah juga harus segera melaksanakan sistem perizinan secara elektronik atau online single submission (OSS) secara menyeluruh di seluruh Indonesia agar sektor properti menjadi lebih efektif dan terukur baik dari sisi waktu maupun biaya.
“Aturan-aturan positif yang diberlakukan oleh pemerintah, seperti relaksasi LTV tentu akan berdampak positif kepada industri properti, meskipun kami belum bisa menggambarkan seberapa besar dampaknya terhadap penjualan saat ini. Saya kira aturan ini harus berproses dulu, dan mungkin tiga bulan ke depan baru terasa pengaruhnya,” pungkas Eman.