BERITA PROPERTI – Pengembangan properti dengan mengusung konsep Transit Oriented Development (TOD) yang belum melibatkan pengembang swasta kembali menjadi sorotan. Sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan di ibukota negara ini, DKI Jakarta, pengembangan hunian dengan konsep TOD semestinya dapat dikerjakan bersama oleh pemerintah dan pengembang swasta.
“Kalangan dunia usaha khususnya swasta, siap masuk membangun kawasan TOD, apabila terdapat treatment khusus penerapan peraturan-peraturan TOD, seperti pemenuhan KDB, KLB, fungsi ruang, guna lahan, pedestrian, RTH, dan lain-lain berdasarkan Masterplan,” jelas Wakil Ketua Umum DPP REI Hari Ganie.
Hari menjelaskan hal itu dalam diskusi ‘Prospek Bisnis Properti Dalam Pengembangan Kawasan TOD di Jabodetebekpunjur’ yang diselenggarakan oleh The HUD Institute, Rabu (26/9) lalu. Kata dia, diperlukan perencanaan masterplan yang jelas, pemanfaatan ruang dan penegakan peraturan perlu dukungan stakeholder, sehingga kawasan TOD sesuai dan memberikan manfaat.
Selain itu, kata Hari, beberapa tantangan pengembangan TOD antara lain karakteristik pasar yang berbeda di setiap titik TOD, penyiapan sistem tranportasi masal yang nyaman, soal kepemilikan tanah disekitar stasiun transit oleh BUMN, tipikal pembeli high-rise yang adalah investor, fleksibilitas desain dan batasan pengembangan.
Pengamat transportasi, Harun Al Rasyid Lubis dari Institut Teknologi Bandung menjelaskan, bahwa pembangunan TOD tidak hanya tentang pengembangan dan pemadatan ulang sebuah kawasan dalam lingkup 400-800 meter dari stasiun tetapi menata ulang ruang kota berorientasi transit. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus menjembatani seluruh kebutuhan stakeholder.
“Hal yang penting dilakukan bagi Civil Society, kampus, Litbang, LSM stakeholder adalah melakukan riset dan pengembangan tentang bagaimana membangun TOD yang efektif bermanfaat bagi konsumen dan masyarakat. Dunia usaha berperan dalam public private partnership, agar pengembangan TOD memiliki daya saing karena karakter swasta adalah menghasilkan laba,” ujar dalam diskusi tersebut.
Sementara Ignesjz Kemalawarta yang mewakili Green Building Council Indonesia (GBCI) mengatakan, bahwa pendekatan green dalam pembangunan di kawasan TOD harus dimulai sejak awal. Mulai pada sistim angkutan dan stasiun, pada sistim transportasi pendukung dan pada bangunan pemanfaat TOD (apartemen /retail /office/hotel /industri) dengan atau tanpa sertifikasi green building sehingga bisa menghasilkan energi dan water saving serta low carbon emission.
Mewakili HUD Institite, Muhammad Joni menyampaikan pentingnya fungsi pengembangan TOD bagi pemenuhan public housing yang pro MBR. Ia menyoroti soal Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.
“Beleid itu (semestinya) tak hanya demi TOD. Jurus TOD itu relevan dengan public housing, karena terkait soal keterjangkauan (affordable), layak huni (liveable), keberlanjutan (suistainable), untuk semua (for all), inovasi pembiayaan (innovative financing) dan subsidi (kemudahan dan bantuan) bagi MBR. Jadi TOD jangan alfa dengan hunian untuk MBR,” ujar Joni sebagai Sekretaris Umum The HUD Institute.
Dalam hal pengelolaan pengembangan TOD versi Permen ATR/BPN No. 16/2017, menurutnya, jika memasukkan wewenang Pemda, lanjutnya, maka Permen ATR/BPN No. 16/2017 itu langkah maju dan akan memicu terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) guna melegalisasi urusan perkim sebagai urusan Pemda.
“Agar Pemda patuh dalam pengembangan TOD, sekaligus urusan perkim dijustifikasi sebagai Program Strategis Nasional (PSN) versi UU Pemda. Sehingga Pemda tidak akan berani mengabaikannya dan membuat Program Sejuta Rumah (PSR) akan lebih mencorong. Jurus TOD sahih dan signifikan bagi pemenuhan hak bermukim MBR, karena itu perlu melibatkan peran partisipatif pelaku pembangunan non pemerintah, warga masyarakat pemilik tanah, selain pemerintah, pemda dan BUMN/BUMD. Tak hanya simpul transit, TOD harus juga menjadi simpul partisipatif,” pungkas Joni.