Propertynbank : Pasar penjualan properti di Indonesia begitu luas seiring dengan makin banyaknya pembangunan properti. Tidak heran profesi sebagai Property Consultant, seperti agen atau Broker Profesional makin diminati.
Tantangan yang dihadapi oleh agen properti ke depan akan semakin berat. Seorang agen properti yang cerdas memanfaatkan peluang serta dituntut jeli melihat peluang sebuah kawasan dengan memanfaatkan teknologi digital.
“Jadi dalam menjalankan profesinya, seorang agen properti tidak bisa lagi menggunakan cara lama, konvensional, tetapi harus lebih kreatif dan inovatif serta memanfaatkan teknologi digital,” ujar Susanto, Dewan Kehormatan DPD Arebi Jawa Tengah.
Susanto melihat, pasar properti di Solo ini sangat bagus bahkan sekarang ini persaingannya sangat ketat. Dulu sebelum tahu market disini, perbulan hanya bisa mendapatkan sekian juta saja. Tapi sekarang ini sangat luar biasa bisa mencapai hingga 67miliar.
“Peningkatannya bisa mencapai 4 – 5 kali,” pungkas pria yang sudah menjalani bisnis agen properti sejak tahun 1997.
Memang kalau bicara agen konvensional dengan agen yang menggunakan digital marketing, dari sisi closing ada jarak yang cukup jauh. “Kalo dari segi nilai konvensional nilainya besar, tapi banyak yang digital sudah sudah lebih 70%,” jelas Susanto.
Teknologi yang berkembang pesat di era digital harus dimanfaatkan. Broker properti harus bekerja lebih profesional di saat seperti ini agar bisa meraih transaksi. Konsumen sudah semakin kritis dan teredukasi.
Hal ini tentunya membuat pelaku usaha di industri jasa perantara properti harus bergandengan tangan erat untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kepada costumer untuk semakin professional dan bersertifikasi.
Terkait dengan sertifikasi profesi ini, diakui Susanto, sebenarnya tidak ada gunanya karena terlalu mahal kalau di Arebi sendiri. Nilainya sekarang sekitar Rp 1,5 juta itu hanya sertifikasi, belum training.
Sementara untuk mengambil sertifikasi dari AREA tambah Susanto, mereka takut. “saya sudah berulangkali membahas hal ini sebelum lengser. Jadi saya bertanya sendiri, Ini takut apa pada Area ?,” ujarnya.
Disisi lain, tambahnya, ERA Indonesia hingga saat ini belum menyiapkan perangkat digital, tapi ERA Singapur sudah memiliki perangkat digital.
Hal ini yang membedakan antara ERA Indonesia dengan ERA Singapur, karena disana tranningnya berbeda dan orang-orangnya memang berpendidikan semua.
“Kalau agen properti kita, mindsetnya tidak part time, tapi kalau di Singapur mereka berpikir dapat prospek ke depannya,”ungkap Susanto.
Di era digital ini memang menjadi tantangan bagi para agent properti, sehingga perlu adanya pelatihan ataupun tranning yang sangat dibutuhkan bagi agen properti.
“Intinya agen properti harus mempunyai developing people, dari yang gak bisa menjadi bisa, lama-lama kan negara bisa maju juga, kalo orang orang yang begitu juga dilatih,” tutupnya.