PROPERTI – Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) berharap, dialihkannya penyaluran pembiayaan perumahan ke Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) tidak menghambat pembangunan rumah subsidi.
Dalam perayaan HUT Apersi ke 23 yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah menyatakan, pengembang yang tergabung di Apersi kuatir pembiayaan rumah subsidi menjadi terganggu. Seperti diketahui, Januari 2022 mendatang program bantuan subsidi dengan skema Fasilitas Likuiditas Permbiayaan Perumahan (FLPP) dari Pusat Pengelollan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) dialihkan ke BP Tapera.
“Semoga pengalihan ini tidak menghambat masyarakat dalam memiliki rumah, khususnya untuk rumah subsidi. Kami berharap di Januari 2022 pengalihan ini selesai, dan bisa dilaksanakan FLPP oleh BP Tapera,” ujar Junaidi, di Hotel Papandayan Bandung, Rabu (10/11). Acara digelar secara hybrid, online dan offline dan diikuti oleh hampir seluruh perwakilan DPD Apersi di Indonesia.
Lebih lanjut dikatakan Junaidi, hingga saat ini realisasi akad KPR bersubsidi dari anggota Apersi dari Januari sampai 10 November 2021 telah mencapai 103.000 unit. Dan penyaluran dana FLPP PPDPP dari Januari hingga akhir Oktober 2021 sebanyak 178.128 unit dengan nilai Rp19,57 triliun. Ini berarti Apersi memberikan kontribusi hingga 60 persen dari total realisasi KPR PPDPP.
“Lebih dari separuh dibangun oleh Apersi. Dan sebagian besar pemasok pembangunan rumah bersubsidi tersebut dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Maka dari itulah, kami memutuskan untuk memusatkan penyelenggaraan HUT Apersi kali ini di Bandung, Jawa Barat,” tegas Junaidi.
Junaidi berharap pelaksanaan atau pembangun rumah subsidi ke depannya tidak ada kendala karena sudah ada Tapera. “Semoga bisa jadi jalan ke luar masalah rumah subsidi karena sebelumnya masalah rumah subsidi selalu dipusingkan oleh kuota habis menjelang akhir tahun.
Tapera Harus Diiring Aturan Lain
Kehadiran Tapera ini menurut Junaidi harus dibarengi oleh aturan lain terkait pembangunan rumah subsidi. Seperti masalah perizinan yang saat ini berganti dari Izin Membangun Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) ternyata belum bisa jalan. Menurut dia, PBG adalah amanat Undang Undang Cipta Kerja (UUCK), maka otomatis IMB gugur.
“Namun sayangnya saat ini pemerintah daerah belum siap dan tidak sejalan dengan pusat, Perda-nya belum ada. Hasilnya banyak anggota kita yang proyeknya tertunda. Jadi percuma saja Tapera jalan, tapi aturan lain tak mengikutinya,” ungkap Junaidi.
Junaidi menambahkan, untuk membuat Perda itu butuh waktu dan kenapa dirinya khawatir karena PBG belum bisa dilakukan maka proyek atau pasokan rumah akan terhambat. “Kita sebagai pengembang itu butuh kepastian, kepastian bisnis. Dan menurut saya, perbankan pun akan terganggu realisasi KPR-nya,” tuturnya.
Sepakat dengan Junaidi, Direktur Utama PT Parahyangan Super Abadi, Bambang Setiadi menyatakan, pengalihan pembiayaan ini akan menjadi babak baru rumah subsidi. Bambang pun menambahkan, transisi ini harus diikuti oleh regulasi yang ada dalam rumah subsidi, kalau tidak sama saja akan ada kendala. PT Parahyangan Super Abadi merupakan anggota DPD Apersi Jawa Barat
Bambang mencontohkan bahwa proyeknya di Garut terganggu karena urusan PBG ini. “Pasca aktifnya UU Cipta Kerja pada Agustus lalu ada penghapusan Izin Membangun Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dan PBG ini adanya di tiap-tiap daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tapi sampai saat ini belum ada aturannya,” pungkas Bambang.