KOLOM – RUU Ibukota Negara mulai berproses dalam aras legislasi. Parlemen telah bergegas membentuk panitia khusus (pansus) yang dipimpin Ketua Ahmad Doli Kurnia Tandjung dan 4 Wakil Ketua.
Tak lama setelah putusan MK RI mengenai UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, tentu kokoh alasan jika RUU IKN itu ditelisik dari sisi konstitusi dan dimensi konstitusionalitas.
Berikut ini 5 Jika dan 5 catatan Muhammad Joni, SH.MH, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) yang praktisi hukum perumahan rakyat, serta Sekretaris Umum The HUD Institute.
- Jika mengacu kepada UUD 1945 Pasal 18B ayat (1), musti dipahamkan erat-erat bahwa Pasal 18 ayat (1) sd. ayat (7) dan Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 itu masuk ke dalam BAB mengenai Pemerintah Daerah. Tidak ada BAB Ibukota Negara.
Sebab itu, jika mengacu Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 maka jalan berpikir yang dibangun dalam RUU IKN menghendaki IKN sebagai konsep hukum Pemerintah Daerah —yang memiliki wilayah dan rakyat/penduduk bahkan kesatuan masyaraat hukum adat dan hak-hak tradisional– yang sudah ada dan masih hidup dalam provinsi dan kabupaten/kota calon IKN.
- Jika masih mengacu UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah. Sebab itu, IKN adalah Pemerintah Propinsi IKN yang dipimpin Gubernur.
Tidak dikenali nomenklatur yang lain, walaupun beralasan sebagai pemerintah daerah yang bersifat khusus (vide Pasal 18B ayat (1) UUD 1945).
- Jika mengacu UUD 1945, frasa Ibukota Negara itu bermartabat dan penting karena disebut dalam konstitusi.
RUU Ibukota Negara
Oleh karena itu setiap norma RUU IKN patut diulas tuntas sisi konstitusionaitasnya. Cermatilah pasal yang melekatkan IKN dengan norma konstitusi bahwa MPR RI bersidang di ibukota negara (vide Pasal 2 ayat (2) UUD 1945).
Beda dengan DPR RI dan DPD RI yang tidak eksplisit by constitution dinormakan bersidang di ibukota negara.
Menariknya, BAB III UUD 1945 mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara, tidak dibunyikan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di IKN. Malahan BPK RI dibunyikan dalam konstitusi berkedudukan di ibukota negara (vide Pasal 23G UUD 1945).
Perlu cermat membedakan lembaga negara yang disebutkan UUD 1945 dengan yang hanya dalam Undang-undang saja dalam konteks pemindahan IKN.
- Jika mengacu kepada UUD 1945, RUU IKN itu absah dianalisis berdasarkan konstitusi yang tak lain adalah demi menjaga konstitusionalisme dan demi mengoptimalisasi kepatuhan konstitusi. Tak juga keliru mendefenisikan IKN itu domein identitas negara –dalam makna kehendak mengentalkan kepatuhan konstitusi dan menjaga konstitusionalisme yang merupakan lawan daripada absolutisme.
UUD 1945 BAB V secara eksplisit hanya menormakan Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Merujuk konstitusi, Bendera Negara ialah Sang Merah Putih Pasal 35 UUD 1945, Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36), Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A), dan Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36B), yang merupakan identitas bernegara dan antitesis daripada penjajahan kolonialisme.
- Jika IKN merupakan norma bermartabat dalam UUD 1945 karena dibunyikan terkait tempat sidang MPR RI dan kedudukan BPK, maka beralasan RUU IKN dibahas secara terbuka dan secara bermartabat melibatkan partisipasi warga masyarakat guna memenuhi syarat formil legislasi, serta diulas sebagai tema penting bernegara dan berkonstitusi guna memenihi syarat materil.
Walau penting, namun norma RUU IKN tidak sekadar cara pemindahan fisik IKN. RUU IKN lebih dari pekerjaan teknis urban development saja dan bukan urusan profesional urban planner belaka, akan tetapi garis kebijakan negarawan yang berbasis bernasnya analisis kalangan jurist constitutionalist.
Sebab itu, jamak RUU yang terkait perlu disusun sebagai Paket RUU terkait IKN, yang tidak hanya RUU IKN termasuk misalnya RUU Pembangunan Perkotaan.