Propertynbank.com – Awal pekan ini, jagat Indonesia memasuki sumringah bulan Agustus yang khas dan bersejarah. Ini esai merdeka menjelang 78 tahun Indonesia menjadi negara bangsa (nation state) yang merdeka (1945-2023), Indonesia masih memiliki persoalan perkotaan yuncto perumahan dan permukiman. Hebatnya, dokumen politik amandemen kedua UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945, lugas amanatkan konstitusi bertempat tinggal. USA saja belum. Belanda sudah, dan termasuk yang pertama di Eropah.
Bukan professor hukum, habit saya advokat yang sumringah belajar mencari “gizi”. Dengan diskusi dan analisa. Keduanya ruang publik-terbuka dalam ekspedisi menemui legal reasoning.
Esai ini bagian dari ruang publik ikhwal “abc-xyz” konstitusi bertempat tinggal; bukan narasi bengal. Termasuk ketika mempersandingkan (dan setarikan nafas nekat memperhadapkan) dua diksi ini: ‘layak’ dan ‘terjangkau’ –yang acap lekat pada perumahan rakyat. Menjaga diksi dan subtansi perumahan rakyat kedalam tradisi/ konvensi bernegara dari masa ke masa, itu misi yang sharif. Sharif (bahasa Arab), artinya mulia, jujur, terhormat, bangsawan.
Frasa ‘Layak-Terjangkau’ itu menjadi ‘oxymoron’, ialah kombinasi dua kata yang saling berlawanan. Yang paradoks tatkala hendak dipersatukan. Perlu berjuta-juta figur sang sharif . Artinya perlu buanyak sharif untuk menata kelola yang baik engentaskan defisit perumahan, dan mengisi penuh “bak air” program strategis nasional (PSN) berjuta-juta perumahan rakyat.
Baca Juga : PBG Jangan Hambat Perumahan MBR, Ini 5 Catatan Muhammad Joni
Ada antitesis ‘tak terjangkau’ dalam tesis ‘layak’. Pun, antitesis ‘tak layak’ dalam tesis ‘terjangkau’. Perumahan layak (adequate housing) sebagai hak atas standar hidup layak (adequate standard of living) diakui sejak era dekolonisasi dan musim semi negara-negara bangsa: Deklarasi Universal HAM (1948) dan ECOSOC (1966). Perumahan layak-terjangkau, dimaknakan UN HABITAT sebagai akses kepada pelayanan yang layak (adequate services). Itu tapak bagi peta jalan memerdekakan warga dari kemiskinan perumahan.
Merdeka meniadakan bahaya latent yang satu ini: kemiskinan! Sejahtera itu alasan mengapa kita bernegara. James A. Kushner –Professor of Law, Southwestern University Scholl of Law– lugas mengulas ‘The federal fair housing enforcement effort’ (ihtiar federal menegakkan perumahan yang adil).
Narasi Kushner dimulai dengan kejutan oxymoron. Bagi J.A. Khusner, ‘Federal fair housing enforcement effort,’ seperti term ‘military justice’ dan ‘honest lawyer’, ialah sesuatu yang oxymoron. Walaupun, Kushner jangan dimutlakkan benar, sebab ada antites disebalik tesis lugas Kushner –yang sarjana teknik mesin dan pernah bertugas di angkatan laut USA.
Di USA pernah ada laporan resmi kepada Kongres dan Presiden USA yang bertitel ‘The Federal Fair Housing Enforcement Effort’. Yang disusun Department of Justice, Department of Housing and Urban Development, dan lainnya untuk memerangi diskriminasi perumahan: ‘to combat housing discrimination’.
Pilihan diksi ‘to combat’ itu nyali keputusan yang berani di negeri demokrasi. Yang patut menginspirasi pejuang perumahan rakyat, di sini. Bahkan amanat bagi siapapun Presiden RI 2024, 2029, 2034 dan begitu seterusnya, nanti.
Rupanya, laporan itu menyimpulkan: adanya kekurangan strategi (‘the federal government lacks a comprehensive strategy to secure fair housing’). Hanya strategi, bukan substansi dokumen teknokrasi. Kekira, menurut esay ini: (hanya) tata kelola perumahan yang baik, saja. Bukan tesis yang mustahil, namun memerlukan tempo waktu panjang. Dan, tabah dan loyal dengan ikhtiar good housing governance –sebagai habit bukan cuman dokumen. Dengan jurus hukum/ kebijakan unggul-cum-program bagus. Yang kualitasnya capaiannya setara dengan kata ini: progresively!
**
Walau jauh di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal, keberadaan rumah sebagai hunian tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang bertumbuh lekat dengan lingkungan –dan infrastruktur seperlunya.
Awam lazim menyebut tiga serangkai kebutuhan dasar manusia: sandang, pangan, dan papan. Papan diartikan sebagai tempat tinggal. Selain melekat secara alamiah sebagai kebutuhan dasar manusia, tempat tinggal –serta lingkungan sekitarnya– memengaruhi evolusi otak dan watak manusia moderen.
Baca Juga : Muhammad Joni : BP Tapera Jangan Lakukan 7 Hal Ini !
Lugasnya, rumah tempat tinggal itu pembentuk kebiasaan (habit) “rakyat” penghuninya. Sebab itu, membangun perumahan berbuah peradaban. William James (1842-1910), psikolog-cum-filsuf di Universitas Harvard menarasikan manusia dari sudut pandang lahiriah adalah sekumpulan kebiasan (bundles of habits). Sebagai hasil per-sua-an sosial antara human dengan habit.
Konsideran Menimbang huruf a UU No.1 Tahun 2011 menyetujui pendirian Wiliam James dengan menukilnya ke dalam frasa: “kepribadian bangsa yang seutuhnya, berjatidiri, mandiri dan produktif”. Mengikuti itu, saya menyebut: ‘Dari Rumah Negeri Digenah’.
Tepat jika tempat tinggal berkenaan dengan kemanusiaan. Yang dinormakan sebagai kesejahteraan rakyat. Yang dimaknai sebagai hak asasi manusia (HAM). Tepatnya hak ekonomi sosial budaya (economic social and cultural rights/ECOSOC Rights) atas tempat tinggal –yang dikenal sebagai hak atas rumah (housing rights). Karena itu kemiskinan perumahan, bukan hanya lekat dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), namun berarsiran dengan pencideraan HAM. Yang berwujud konkrit sebagai kenyataan sosial rumah tidak layak huni, maupun beragam homelessness and housing problems.
Dalam khazanah instrumen HAM, jaminan hak bermukim (security of tenure) diakui sebagai komponen utama hak perumahan yang layak (the right to adequate housing).
Pemenuhan hak perumahan yang memadai dan atas peningkatan yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan tindakan berkemajuan dan realisasi penuh (progresively and full realization).
Majelis pembaca, istilah ‘progresively and full realization’ diambil dari International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005. Mirip dengan frasa yang berani: ‘to combat’ –dalam laporan ‘The Federal Fair Housing Enforcement Effort’. Oleh karena itu pemenuhan hak bertempat tinggal menjadi agenda penting menaikkan derjat kesejahteraan rakyat dan kemajuan “air” peradaban bangsa Indonesia –yang hendak menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, Indonesia mengalami kekurangan rumah (backlog) yang tinggi, demikian pula hunian rumah tidak layak huni, maupun kawasan kumuh kota. Ketiganya gejala sosial-ekonomi kesenjangan kesejahteraan perumahan dan permukiman di perkotaan. Walau penyediaan perumahan rakyat yang layak, terjangkau, yang ditambah dengan berkelanjutan (sustainable) dan untuk semua (for all) –sudah dan terus diadakan. Dengan jamak kebijakan dan progam, termasuk Program Sejuta Rumah (PSR), dalam sewindu kini.
Namun PSR belum mengatasi defisit perumahan. Masih ada 12,75 juta (2020). Bukan turun, malah naik 0,8 juta dalam kurun 14 tahun terakhir. Seperti curhat pak Dirjen Harry Trisaputra Zuna ke ruang publik/ media (2023): backlog bagai mengisi bak air tak penuh-penuh. Seakan mengonfirmasi “curhat” Pak HUD: Zulfi Syarif Koto (2020), yang kuatir Indonesia pernah darurat perumahan. Perlu langkah luar biasa memerdekakan warga dari kemiskinan perumahan. Dari debut PSR kepada tata kelola perumahan yang baik PSN-SR. Dengan aliran semangat merah-putih –yang sharif kepada perumahan rakyat.
Kalimat esai-merdeka#1 ini sampai ke titik akhirnya. Di luar sekitar kota, bendera merah putih besar-besar mulai ramai berkibar, saya bersemangat besar di sekitar pikiran perumahan Bung Hatta –yang mewariskan pesan tak biasa. Kita bisa, jika bersunguh-sungguh pada perumahan. Sertakan tabah dan sumringah mengisi bak air sampai penuh. Itu bukan oxymoron. Tabik. Bersambung#2.
(Advokat Muhammad Joni, SH., MH., Wakil Ketua Umum V The HUD Institute, Sekjen PP Ikatan Alumni USU, pendapat pribadi).