Property & Bank

5 Asosiasi Pengembang Desak Pemerintah Atasi Kendala Sektor Perumahan

Asosiasi pengembang
Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andre Bangsawan menjadi nara sumber diskusi Forwapera

Propertynbank.com – Asosiasi pengembang berharap agar sejumlah permasalahan yang ada di industri perumahan segera diatasi. Hal tersebut diungkapkan oleh asosiasi pengembang yang menjadi pelaku utama bisnis properti itu pada Diskusi, Peluang dan Tantangan Sektor Perumahan Tahun 2022 yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), pekan lalu.

Seperti diketahui, tahun 2022 menjadi tahun yang paling ditunggu para pemangku kepentingan (stakeholder) sektor perumahan di Tanah Air. Pasalnya, di satu sisi, gelombang pandemi yang mulai surut—yang diikuti oleh menggeliatnya kegiatan ekonomi—membuat sejumlah pengembang bersiap-siap untuk tinggal landas (take off) dengan meluncurkan beragam produk.

Produk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) masih menjadi unggulan pilihan konsumen dalam mendapatkan rumah idaman. Fleksibilitas masa tenor dan pembayaran uang muka 10%, menjadikan produk ini banyak diminati konsumen. Sumber pembiayaan KPR mencapai 75,08 % di Kuartal II 2021, pertumbuhan KPR secara tahunan (yoy) di Kuartal II 2021 mencapai 7,24%.

Beragam kebijakan yang dirilis Pemerintah pun menjadi stimulus bagi sektor riil ini. Sebut saja suku bunga acuan di level 3,5% (terendah sepanjang sejarah), relaksasi Loan to Value (LTV) yang memungkinkan konsumen mendapatkan KPR dengan uang muka 0%, serta Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas properti siap huni yang diperpanjang hingga akhir Desember 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 103/PMK.010/2021.

Perpanjangan insentif ini disambut hangat pihak pengembang dan terbukti meningkatkan penjualan rumah siap huni. Melihat hal ini, para pengembang pun mengusulkan agar insentif ini diperpanjang hingga 2022.

Di lain pihak, untuk pasar rumah subsidi, terjadi perubahan besar. Dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang semula dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), akhir tahun 2021 ini akan beralih ke BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat).

Penyaluran dana FLPP tahun 2021, ditutup dengan angka tertinggi sejak dimulainya penyaluran pada 2010, yakni sebanyak 178.728 unit dengan nilai Rp19,57 triliun. Di 2022, Kementerian PUPR menargetkan KPR FLPP dapat membiayai sebanyak 200.000 rumah. Menunjang mencapai target tersebut, pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp23 triliun.

Di luar anggaran tersebut, Pemerintah juga menganggarkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp812 miliar, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp1,6 miliar. Sedangkan, program Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2022 sudah tidak ada lagi. Lantas, apakah kebijakan Pemerintah ini kontra produktif terhadap target Program Sejuta Rumah yang telah berjalan sejak 2015?

Sektor Informal Perlu Dimaksimalkan

Kepala Divisi Subsidized Mortgage Lending Division PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Mochamad Yut Penta mengatakan, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada penyaluran KPR Subsidi di Tahun 2021.

Menurutnya, sektor informal belum tergarap secara maksimal. Sesuai realisasi 2021, sektor informal hanya mampu tergarap 12% dari total keseluruhan. Sehingga, diperlukan strategi dalam mendorong penyerapan realisasi dari sektor informal. Selain itu, imbuh Penta, belum ada lembaga yang berfokus dalam mengontrol ketepatan sasaran, kualitas, dan keterhunian rumah.

“Pemerintah telah mengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan persetujuan bangunan gedung (PGB) di Tahun 2021. Namun, hal ini tidak diikuti dengan penerbitan Perda dan Sistem PBG secara nasional,” katanya.

Terkait dengan pembiayaan perumahan di tahun 2022, dia menuturkan, pertumbuhan pembiayaan perumahan akan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi perekonomian nasional, antara lain pengendalian covid—sehingga tidak terjadi gelombang kasus baru—serta kebijakan pemerintah.

“Setiap terjadinya gelombang penambahan kasus baru, maka ekonomi akan melambat dan berdampak pada turunnya berbagai sektor, termasuk perumahan,” terang Penta.

Dia juga menyoroti program stimulus PPN yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) yang ditengarai memicu tumbuhnya KPR secara nasional sepanjang pandemi. Perpanjangan program ini diyakini akan mampu mendorong tumbuhnya industri perumahan di 2022.

Sementara itu menurut Heliantopo, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) prosentase KPR di Indonesia masih kecil di bawah 10%, padahal pertumbuhan perumahan tidak ada matinya. Karena itu SMF tetap aktif melakukan pembiayaan jangka panjang kepada Lembaga penyalur baik konvensional maupun syariah.

“Strategi ke depan SMF adalah melakukan kerjasama pembiayaan perumahan untuk pekerja di sektor informal (KreditMikro) dan inisiasi programbaru untuk mendukung keterjangkauan pemilikan rumah bagi MBR,” tuturnya.

SMF lanjutnya juga terus bersinergi dengan Kementerian/Lembaga untuk mendukung program pemerintah di bidang perumahan, di antaranya melalui Program Perluasan Penyaluran Subsidi Perumahan (KPR Program FLPP) dan memberikan akses pendanaan kepada masyarakat yang tinggal di daerah kumuh untuk meningkatkan kualitas rumah yang dimiliki. “Bagi pemilik homestay bisa memanfaatkan dana SMF dalam pembangunan/renovasi rumah untuk dijadikan homestay,” lanjutnya.

Asosiasi Pengembang Desak Pemerintah

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum DPP REI, Danni Wahid mengatakan kebangkitan industri properti sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Asosiasi pengembang terbesar ini menyebutkan sektor properti berkontribusi sebesar 13,6% terhadap PDB nasional dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 8,5 juta pekerja atau 6,95% dari total tenaga kerja nasional tahun 2020.

“Seperti disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Rakernas REI lalu bahwa industri properti memiliki multiplier effect dan rantai pasok terhadap 175 industri lain yang sangat tinggi konten lokal,” ujar Danni.

Meski berkontribusi cukup signifikan, namun masih sangat banyak hambatan di lapangan. Salah satunya, kata Danni, menyangkut adanya kendala terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). “Mayoritas daerah belum menetapkan Perda Retribusi PBG. Kalau  pemerintah tidak memastikan Perda PBG ini selesai di bulan Januari, maka akan berdampak pada produksi rumah dan serapan insentif PPN DTP,” tegas dia.

Danni juga mengusulkan agar dilakukan relaksasi Sikumbang terhadap syarat PBG. Kemudian kenaikan harga rumah subsidi dan rusun untuk tahun 2022 segera ditetapkan.

Selain itu, REI meminta adanya fokus pada fasilitas pembiayaan untuk non fixed income (sektor informal) dengan memperbanyak kuota BP2BT dan dikhususkan untuk non fixed income. Sektor informal perlu mendapat perhatian lebih karena jumlahnya semakin banyak terutama selama masa pandemi.

asosiasi pengembang
Junaidi Abdillah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyampaikan materi diskusi

Junaidi Abdillah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan, bisnis properti sudah teruji terbukti saat krisis 1998. Tren industri properti masih lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Walaupun tahun ini masih ada penurunan, tapi tren pertumbuhan industri properti masih tetap positif.

“Kendati terlambat, properti bisa berkontribusi dalam masa-masa sulit sekarang ini dan menjadi bagian dari industri strategis,” katanya. Apersi merupakan asosiasi pengembang yang fokus pada rumah MBR.

Permasalahnya, imbuh Junaidi, industri ini kurang dapat perhatian. Belakangan baru disadari bahwa kontribusi industri properti sangat bagus. Mudah-mudahan pandangan positif bagi industri ini berlangsung untuk seterusnya.

Jika dulu kuota kurang, seharusnya hal ini tidak terjadi lagi, mengingat industri ini sangat strategis dan melibatkan banyak tenaga kerja padat karya. Dalam situasi sekarang, tenaga kerja padat karya di sektor properti dapat bertahan.

Setelah berlakunya UUCK, banyak aturan turunannya menjadi hambatan bagi pengembang. Hal tersebut wajar, karena harus menyesuaikan dengan aturan baru, namun efeknya luar biasa besar. Regulasi turunan UUCK yang diharapkan mempercepat dan mempermudah, namun ternyata menjadi penghambat.

Backlog akan semakin tinggi jika PBG tidak segera selesai. Perizinan yang belum bisa terlaksana akibat proses PBG yang sampai sekarang belum jelas.

Menurutnya, perlu ada koordinasi lintas kementerian. Saat ini ada lima kementerian yang terkait dengan PBG. Jika tidak ada sinergi lintas kementerian, backlog di tahun depan akan semakin besar. Dampak PBG ini baru terlihat di tahun depan.

Junaidi mengkhawatirkan akan terjadi kepanikan pengembang jika PBG tidak segera selesai. Untuk itu, harus ada harmonisasi lintas kementerian dalam upaya kemudahan investasi terkait perizinan.

“Pemerintah harus memberi masa transisi jika PBG belum bisa terlaksana. Bila pertumbuhan properti melorot, maka industri strategis ini akan turun. Jika tidak ada masa transisi, bisa terjadi kekosongan satu tahun dan backlog akan membengkak,” katanya.

Endang Kawidjaja, Ketua Umum Himperra (Himpunan Pengembang Pemukiman Dan Perumahan Rakyat) mengatakan, pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini membuat sektor properti harus survive.

Dalam kondisi seperti ini, imbuhnya, Pemerintah harus menjadi lokomotif sektor perumahan, terutama rumah subsidi untuk MBR. Menanggapi hal itu, Presiden Jokowi telah meminta pengembang properti untuk menjaga momentum ekonomi di masa pandemi.

Di 2022 ini, agar target 230 ribu unit dapat tercapai, Himperra mengemukakan beberapa masukan. Pertama, dilakukan transisi pada tiap perubahan aturan/NSPK (norma strandar prosedur dan kriteria). Misalnya, pengalihan dana FLPP dari PPDPP ke BP Tapera yang memerlukan trial run agar transisi berjalan lancar.

Endang menilai, peralihan IMB menjadi PBG juga dinilai gagal. Hal ini tidak akan terjadi bila transisi dilakukan sejak awal. Asosiasi pengembang ini mengusulkan sistem one-submission permit (OSP) untuk rumah subsidi dan penyeragaman skema pembayaran agar efektif dan efisien.

Endang juga menyoroti dampak UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang belum sesuai harapan, bahkan cenderung menghilangkan jejak panjang lex specialis bisnis rumah subsidi.

“Rumah FLPP makin lama makin sulit. Di satu sisi, rumah dituntut harus berkualitas, tetapi harga tidak naik dalam dua tahun terakhir. Saya khawatir jika ini berlanjut, tak ada lagi pengembang yang mau membangun rumah subsidi,” terang Endang Kawidjaja.

Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andre Bangsawan mengeluhkan peraturan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) yang sudah diberlakukan sebagai pengganti IMB, tetapi sistem tidak mendukung.

“Pihak pemda tidak dapat mengeluarkan PBG dengan alasan Perda Pemberlakukan Tarif PBG belum terbit dan Pemda tidak mau memberlakukan Tarif PBG Rp0, sehingga pengembang stag tidak dapat meneruskan kegiatan pembangunan,” ujar Andre.

Oleh karena itu, dia meminta Bank BTN agar bisa membantu mengatasi yakni dengan menonaktifkan Sikumbang. Andre juga menyoroti pemberlakuan Buyback Guarantee yang memberatkan pengembang, karena alasan untuk jaminan user yang gagal bayar (menghindari NPL).

Sementara adanya pengalihan pengelolaan dana FLPP dari PPDPP kepada BP-TAPERA, Andre mengharapkan tidak menghambat proses akad KPR-FLPP. Dia mencontohkan seperti sekarang ini di mana masih belum bisa proses akad dan pencairan, begitupun kinerja SDM nya jangan sampai berubah terkait lamanya pencairan KPR dan SBUM.

Sementara, Muhammad Syawali, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas) berharap peralihan FLPP dari PPDPP ke BP Tapera dapat melanjutkan program yang selama ini telah berjalan, bahkan dapat ditingkatkan. “Kami juga sangat mengapresiasi PPDPP yang sangat luar biasa dalam melayani kami dari kalangan pengembang dan selalu memberikan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi di lapangan,” katanya.

Terkait backlog, asosiasi pengembang ini mengatakan bahwa data yang disajikan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan—menurutnya jumlah backlog lebih banyak. Untuk mengatasi backlog, dia menyarankan agar para pemangku kepentingan sektor properti Tanah Air melakukan kolaborasi. “Asprumnas berkomitmen untuk mendukung semua program perumahan rakyat yang diinisiasi Pemerintah agar rakyat, terutama MBR, bisa mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini