Propertynbank.com – Pungutan atau iuran Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang saat ini masih menjadi polemik, belum diberlakukan sekarang namun masih menunggu penetapan regulasi teknis yang diperlukan untuk mengatur besaran simpanan. Selain itu, pelaksanaan pungutan juga akan diterapkan pada tahun 2027 mendatang.
Hal tersebut disampaikan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho saat konferensi pers tentang Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), di gedung Bina Graha Jakarta, Jumat (31/5) lalu. Dirinya juga menjelaskan bagaimana simulasi pembiayaan melalui Tapera yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Untuk rumah susun, pekerja mandiri dengan pendapatan Rp 6 juta/ bulan yang mengambil KPR Satuan Rumah Susun dengan harga Rp300 juta, dengan jangka waktu pinjaman 20 tahun, suku bunga 5% maka angsuran dan tabungannya Rp2,1 juta/bulan; atau lebih hemat sekitar hampir 1 juta per bulan dibandingkan dengan KPR komersial.
Baca Juga : Jadi Polemik dan Timbulkan Keresahan, KSP Akui Tapera Kurang Sosialisasi
Sedangkan Rumah Tapak, pekerja mandiri dengan pendapatan Rp 4 juta/ bulan yang mengambil KPR Rumah Tapak dengan harga Rp175 juta, Jangka waktu pinjaman 20 tahun, suku bunga 5% maka angsuran dan tabungannya Rp1,26 juta/bulan; atau lebih hemat sekitar 500 ribu per bulan dibandingkan dengan KPR komersial.
“Bagi pekerja yang tidak membutuhkan pendanaan dari Tapera akan mendapat manfaat berupa pengembalian tabungan dan imbal hasil pada saat masa kepesertaannya berakhir dengan tingkat imbal hasil diatas rata-rata tingkat suku bunga deposito Bank Pemerintah 1 tahun,” jelas Heru.
Saat ini, kata dia, tengah dikembangkan perluasan manfaat lainnya bagi para Peserta Penabung Mulia untuk meningkatkan benefit dalam Kepesertaan Program Tapera. “Kami akan terus membuka ruang dialog publik, untuk menerima masukan semua pihak, terkait bentuk manfaat lain diluar pembiayaan perumahan,” tegasnya.
Pentingnya penabung mulai untuk bergabung dalam kepesertaan Tapera, kata dia, adalah terkait dengan kepastian waktu bagi MBR dapat memperoleh Rumah. Semakin banyak partisipasi penabung mulia akan memperpendek waktu menunggu Peserta MBR untuk mendapatkan pembiayaan Rumah Tapera.
Lalu, apa bedanya Tapera dan FLPP? Heru menjelaskan, dari sisi mekanisme pembiayaan produk FLPP dan Tapera relatif sama, memberikan likuiditas ke perbankan untuk menekan suku bunga KPR pada level rendah di bawah pasar. Sedangkan perbedaan utamanya adalah, dari sisi penerima manfaat, FLPP diperuntukkan untuk MBR sedangkan KPR Tapera diperuntukkan untuk Peserta Tapera MBR.
Baca Juga : Kontroversi Tarif 3% Dana Tapera, Pengamat Usulkan Bereskan Gap Ekosistem
Dari sisi sumber dana FLPP berasal dari APBN, sedangkan dana Tapera berasal dari Dana Simpanan Peserta, kedepan kedua program ini dapat disinergikan dengan joint financing dalam rangka Single Housing Program. Kedepan, BP Tapera juga akan mengupayakan alternatif sumber dana lain seperti dana wakaf, dana filantropi, dan CSR dan dana lainnya. Dari sisi fitur suku bunganya sama.
Sedangkan untuk jangka waktu KPR Tapera jangka waktu 30 tahun (Tapak), 35 tahun (Rusun), KPR FLPP 20 tahun (Tapak dan Rusun), Uang Muka untuk KPR Tapera 0%, KPR FLPP 1%, FLPP mendapatkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), KPR Tapera saat ini tidak mendapatkan.
Tapera Untuk Uang Muka
Sekretaris Jenderal DPP APERSI, Daniel Djumali menanggapi, iuran Tapera ini adalah hal yang baik sekali untuk mendukung karyawan swasta khususnya untuk memperoleh rumah berkualitas yang layak bagi masa depan keluarganya, ataupun untuk membangun atau merenovasi rumahnya dan bisa dipakai juga sebagai pembayaran uang muka/DP Rumah Idaman bagi keluarganya (sisa pembayaran rumah dilanjutkan dgn KPR dari Perbankan baik subsidi/MBR maupun bagi Millenials/MBT).
Oleh karena itu, kata Daniel, perlu dijelaskan dan dibuat Juklak/petunjuk pelaksanaan yang jelas, bahwa iuran Tapera ini bersifat sebagai Tabungan atas nama pribadi yang bersangkutan ( jadi bukan biaya atau uang yang hilang percuma).
Daniel menambahkan, sudah terbukti menurut BKPM, bahwa dimasa pandemi, sektor properti / perumahan, khususnya rumah subsidi bagi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah dan bagi millenials/karyawan swasta/ MBT (masyarakat berpenghasilan tanggung), terbukti teratas dan tangguh bisa melewati masa pandemi Covid-19 dan Padat Karya bisa menyerap belasan juta tenaga kerja langsung maupun tenaga kerja tidak langsung.
Baca Juga : Desak BP3 Lebih Berperan, APERSI Kuatir Kuota Rumah Subsidi Tahun 2024 Segera Habis
“Bahkan, disaat itu WFH (work from home) adalah satu2nya solusi untuk tetap bekerja, jadi jika tidak ada rumahnya WFH darimana / tidak bisa jalan. Sektor industri perumahan terbukti mempunyai efek ganda atau multiflier effect terhadap lebih dari 170 sektor industri/ekonomi lainnya,” tegas CEO Bina Land ini.
Lebih lanjut Daniel memproyeksi industri properti di tahun 2024, pasar rumah subsidi atau MBR akan terbangun sekitar 220.000 – 250.000 Unit Rumah. Sedangkan pasar MBT (MasyarakatBerpenghasilan Tanggung) dan Millenials sekitar 100.000-150.000 Unit Rumah. Tantangannya adalah kuota rumah subsidi tahun 2024 baru dianggarkan sebesar 166.000 unit Rumah Subsidi, sehingga masih kurang memadai dibanding kebutuhan rumah Sub sidi bagi MBR yang terus tumbuh.
Daniel mencontohkan, pada tahun 2023 per tanggal 9 Desember lalu saja, kuota rumah subsidi sudah habis, padahal masih ada belasan ribu rumah subsidi yang belum bisa diakad KPR kan.
Jadi perlu tambahan kuota di APBN-P tahun 2024 ini sebesar minimal 60.000 – 90.000 Unit Rumah Subsidi/FLPP bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Pasar MBR dan MBT atau Millenials, merupakan pasar besar yang selalu meningkat pesat setiap tahunnya dan sesuai program visi misi pemerintahan saat ini dan pemerintahan mendatang, dan menjadi penopang pertumbuhan properti di 2024,” pungkas Daniel.