Jalan Hidup
Mencerna “xyz” isi kandungan buku ‘EP PSR: MUS?’, majelis pembaca disajikan prolog yang menarasikan sekerat mimpi –dikemas mewah dan kolosal. Kolosal? Ya.., karena mimpi suasana megah dan reriuh karena pembukaan Kongres Perumahan di Bandung: 25 Agustus 1950.
Jika dianalogikan bangunan rumah, prolog itu serambi ke ruang utama bahkan lekuk pribadi. Kalau serambi mewah? Ya.., karena mimpi bertemu dan bertukar pikiran terbuka dengan Proklamator Bung Hatta, tokoh yang mempidatokan ‘Indonesia Vrij’. Itu manifesto politik Hatta yang berpengaruh, bukti Indonesia merdeka dengan bekal akal, bukan hanya angkat senjata. Akal adalah senjata bercahaya; benar bukan mimpi. Mimpi yang lazimnya memutarkan ulang memori terpendam di alam bawah sadar ataupun cuplikan de javu, maka mimpi persuaan pemikiran Hatta yang diteruskan ke ZSK, bukan mimpi biasa.
[irp]
Seperti diceritakan sendiri, masa-masa kecil ZSK –yang lahir 29 Oktober 1950 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), lantas berpindah-pindah rumah ke Lubuk Pakam (Sumatera Utara), lalu Tanjung Morawa –yang dikelilingi perkebunan— di luar watas kota Medan. Kemudian menatap dan bertumbuh di Kampung Aur, Medan. Lokusnya dekat markas Kowilhan (sekarang kantor pusat PTPN IV pernah juga Mapoldasu) di tepi sungai Deli –yang (dulu) airnya biru dan rumah penduduk menghadap sungai. Kata ZSK kepada saya, mulanya disitulah titik kilometer nol kota Medan, bukan di Lapangan Merdeka –yang dulu bernama De Esplanade lalu Fukuraido— jamak dinaungi pohon trembesi besar dan tinggi. Jalan hidup berpindah-pindah kota dan ngontrak-ngontrak rumah menjadi pengalaman sosial yang mempengaruhi haluan pemikirannya. Suara ZSK sedikit bergetar menguak kisah jalan hidup saat pidato peluncurun buku.
Mimpi megah-kolosal bertukar ujar dengan Hatta itu berkesan dalam, bukan mimpi biasa dan bukan pula dejavu, karena memori sebelum kelahiran. Yang merasuk ke bawah pikirannya karena perkakas perpanjangan pemikiran ala Borges, yaitu: buku. Kalau pengalaman adalah guru terbaik, maka pengalaman-pemikiran adalah maha-guru. Prof. Karl Mannheim menyebutnya sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) –yang membuat orang toleran pada perbedaan pendapat dan perlintasan sikap.
[irp]
Disisip kehadirin material pemikiran Tan Malaka di sela tulisan, buku ‘EP PSR:MUS?’ berumpun 13 Bab, berhimpun 286 halaman. Seakan prolog berisi dialog Hatta ke/dari ZSK itu, mencuplik sebagian narasi biografi intelektual Hatta –meminjam istilah Daniel Dakhidae– yang memadukan ide dengan sejarah dalam satu sajian. Pemilihan konsep prologis yang memukau. Entry penulisan buku yang berhasil.
“Banyak hal baru ketika membaca buku ini, enak dan disajikan menarik tapi kita jadi mengerti”. “Dalam wawancara imajiner dengan bung Hatta buku ini, pesannya negara harus hadir”, kata Oswar Mungkasa yang enam kali membacanya dan diprogramkan meresensi buku karya mantan Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat yang pernah “juragan” minyak tanah tatkala kuliah di ITB (Planologi 70). Mungkin itu sebabnya ZSK mengerti kirka dan numerasi ekonomi-politik dikaitkan literasi perumahan. Mana ada kebijakan minyak luput politik. Air saja ada hydro-politics. Agar airnya biru (lagi), jangan sampai dengker atau mengering seperti Aral Sea, sungai Deli butuh normalisasi-naturalisasi dan hydro-politic Jakarta.
[irp]
Apa komentar ikhwal buku? Berikut ini dicuplik beberapa tanggapan atas peluncuran buku. Menurut Andrinov Chaniago, kandungan buku ‘EP PSR: MUS?’ mewakili pikiran, intuisi dan pengalaman sosok ZSK yang disebutnya “ensiklopedia” perumahan. Sosoknya dinilai mampu mempertemukan ragam penjuru pemikiran. Pak Eman, mantan Ketua Umum DPP REI menamsilkan ZSK sosok pria cepat berjalan yang acap toleh kiri-kanan. Cerak cepat dan/tapi waspada itu kecerdasan kinestetik. Mungkin tak hanya cepat merenangi sungai Deli, dia pribadi yang berpikir cepat, langkah melompat, namun awas dan persuasif. Bisa jadi persis gerak si belang; sepasang harimau sumatera –yang lukisannya terpampang di ruang kantor The HUD Institute.
bersambung ke halaman berikutnya…..