Sebelum kabinet baru, The HUD Institute mengkaji dan megedarkan policy brief pentingnya urusan dan kelembagaan perumahan rakyat ditingkatkan portofolionya karena amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Salah satunya mengusulkan badan perumahan nasional setara kementerian.
Usul obyektif dan lepas dari maksud politik itu, bisa jadi di dengar semesta, yang kemudian terwujud dengan adanya pembentukan badan percepatan pembangunan perumahan (sebut saja BP3) dalam Bab IXA UU Cipta Kerja –yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres). Oleh karena organ-organ BP3 ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres), maka sahih jika dalam Perpres-nya memosisikan BP3 berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sebab itu, bentuk lembaganya tidak kompatibel sebagai BUMN dan bukan Badan Layanan Umum (BLU), walau fungsinya sebagai pelaku layanan umum, namun dalam UU Cipta Kerja tidak dibunyikan fungsinya sebagai regulator.
[irp]
Tatkala awal-awal pendemi COVID-19 melanda, pun PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional dengan PP Nomor 23 Tahun 2020 Jo. PP Nomor 46 Tahun 2020) diluncurkan, dengan sigap ZSK dan The HUD Institute berlari cepat dan melompat. Mencarikan solusi permasalahan lewat berbagai FGD –focus group discussion— dan naskah proposal kebijakan yang merelaksasi kebijakan rantai pasok perumahan yang masih banyak “merah”. Darinya lahirlah konsep ‘Rumah Sehat Produktif untuk Keluarga Sejahtera’, yang terinspirasi dan membudidayakan pemikiran Hatta “Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga” yang dipidatokan saat Kongres Perumahan 1950. Dengan konsep ‘Rumah Sehat Produktif untuk Keluarga Sejahtera’, menurut ZSK beralasan menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM guna menyekrupkan pembangunan perumahan MBR dengan pemulihan ekonomi keluarga berbasis konsep rumah sehat produktif.
Tidak berlebihan menyebut ZSK adalah Hatta-is –penyokong dan penyerap (pemikiran) Hatta yang diterapkannya pada bidang perumahan. Maaf jika patik menilai Zulfi adalah anakda idiologis Hatta. Jagat perumahan di Indonesia menanti kelahiran gagasan dan gebrakan baru ZSK, pun setelah kelahiran buku keduanya. Menantika kelahiran memang mendebarkan.
[irp]
Zonder toll tariven
Watak genom yang persuasif dan “malereng” itu menuntun ZSK memperjumpakan asosiasi pengembang dan pemerintah dalam hal standar ukuran besi rumah MBR. Selain sosok yang kinestetik, ramah dan dialogis berwicara, kala berdiskusi dengan sang “ensiklopedia” perumahan tak pelit ilmu dan informasi. Bernas memberi panduan (guidance) dan tulus memberi arahan (direction) –walaupun libur akhir pekan dan almanak bertanggal merah. Orang Belanda menyebutnya ‘discusie zonder toll tariven’ –artinya diskusi tanpa tarif tol— istilah yang saya dengar dari ayahda Prof. Laica Marzuki, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang sangat bijak dan amat persuasif. Siapa yang tak terkulai batinnya ketika disapa Yang Mulia Prof. Laica dengan diksi anakda?
Narasi di depan hanya sekelumit kiprah dan jalan hidup ZSK menikmati “abc-xyz” lika liku urusan perumahan rakyat –yang merupakan amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalil yang selalu dipegang, diujarkan dan diedarkannya. Ikhtiar menjadikan hak konstitusional bertempat tinggal sebagai konstitusi yang hidup (living constitution), bukan hanya dokumen aspirasional, bukan bagaikan buku menu restoran –yang tertulis ada tetapi tidak tersedia. Konstitusi dilaksanakan dengan tidak kepalang tanggung, meminjam kata-kata Prof. Laica.
Sauarnya yang selalu tabah dan loyal pada konstitusi, ZSK bagikan seorang constitutionalis yang hendak membumikan hak konstitusi atas hunian dengan dengan tidak kepalang tanggung. Pak Zulfi menyusun bukunya sebagai warisan sosial pengetahuan perumahan rakyat. Menjadi literasi, numerasi dan solverasi persoalan perumahan. Senpai 先輩 Jo. Sensei 先生 Zulfi, sosok anak kampung Aur yang tumbuh dari tepi sungai Deli –seakan dilahirkan untuk perumahan. Tabik.
Pendapat pribadi : Muhammad Joni, Advokat, Managing Partner Joni & Tanamas Law Office.