Property & Bank

Dari Kotabaru Yogja, Desak Perubahan Perkotaan Indonesia Forever

kolaborasi, perkotaan
Advokat Muhammad Joni, S.H., MH., praktisi hukum properti

Propertynbank.com – Usah didesak, cak. Almanak 2023 auto-usai, periodenya selesai. Diksi selesai lawannya selamanya:  forever! Desaklah perubahan hidup 2024.  Sindiran  ‘hidup bukan sekadar hidup’  dipetik  dari  ajaran  Buya, dan metaphor  ‘kera juga bekerja’ dari seloka HAMKA. Istilah Buya artinya ayah; abah, yang dilafazkan orang Minang untuk  sang cendikia-cum-ahli agama mentor menuntun bangsa, seperti  kiyai di tanah Jawa.  Buya HAMKA sastrawan yang menulis novel ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ (1938), juga ‘Merantau ke Deli’ (1939). Cuplikan film ‘Kingdom of the Planet of the Apes’ (2024) mengekspos tabiat  Proximus turunan Caesar, sang raja kera yang hampir menguasai planet manusia.

Menuntun  lagi rute Jakarta-Yogjakarta-Jakarta di penghujung 2023,  bola mata saya hidup. Pikiran saya berjalan. Hendak memburu pidato perubahan sese-abah nasional –yang pernah sekolah di SMPN 5 Yogja (1982-1985). Datang ke kota itu, saya menghayati  sejarah  pertempuran Kotabaru (battle of Kotabaru)  yang  menenggelamkan “kapal” kekuasaan Jepang, 7 Oktober 1945. Dituntun merantau  kepada tarikh istimewa Yogja,  amba  mengendus harum  semangat juang orang generasi muda belia dan sengat bau mesiu imajiner dari  magazijnen van orlog (gudang perang)  manakala melintasi Kotabaru  (Jawa: ꦏꦺꦴꦠꦧꦫ), melipir Jalan Sunaryo ke depan Masjid Syuhada, bergeser sedikit ada kantor LKBH FH UII, melempar pandangan mata ke watas Kali Code. Hamparan dan suasana kota taman masih terasa tatkala  menelusup masuk ke ceruk-lekuk Kotabaru, satu proyek yang dikerjakan Department van Sultanaat Werken. Lagu KLa Project berjudul ‘Yogjakarta’ terasa manis di memori, liriknya healing hati yang tak terobati. Itulah istimewanya, entah Yogjakarta, entah lirik KLa; bisa jadi keduanya. “Pulang ke kotamu/ Ada setangkup haru dalam rindu/ Masih seperti dulu/ Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna”. …“Ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi/ Bila hati mulai sepi tanpa terobati”.

Balik ke zaman ketika Jepang berkuasa, Kotabaru dijadikan markas militer.  Sampai tiga bulan usai  proklamasi yang masih muda, Jepang tidak  auto hengkang, tidak segera terjadi pemidahan kekuasaan –dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tangsi militer Jepang masih menderu  di Kotabaru.  Pasukan  badan keamanan rakyat bersemangat  mengambilalih  kawasan  itu.  Berjuang dengan strategi ganda; merundingkan alih kuasa tanah Kotabaru pada 6 Oktober 1945. R.P. Soedarsono mendesak agar Butaitjo Mayor Otzuka menyerahkan senjata ke pihak Indonesia.

Sementara   gejolak di medan juang aksi rakyat  tak sabar  melucuti senjata militer Jepang.  Gagal berunding,  pejuang   menyerang Kidobutai terjadilah pertempuran Kotabaru, pada 7 Oktober 1945.

Dar der dor. Tentara  Jepang kewalahan dan  dipaksa menyerah. Tercatat  21 orang serdadu remaja   menjadi syuhada:  I Dewa Nyoman Oka, Ahmad Jazuli, Supadi, Faridan M. Noto, Bagong Ngadikan, Suroto, Syuhada, Sunaryo, Sajiono, Sabirin, Juwadi, Hadidarsono, Sukartono, Johar Nurhadi, Sareh, Wardhani, Trimo, Akhmad Zakir, Umum Kalipan, Abubakar Ali, dan Atmosukarto.  Masjid Syuhada di ujung Jalan Sunaryo menjadi pengingat pertempuran Kotabaru yang menenggelamkan pendudukan militer Jepang di Yogjakarta.

Jauh sebelum Kotabaru direbut dari Jepang, kawasan  itu dikembangkan dari kausal manisnya gula; dan opendeur politiek.  Bermula  politik pintu terbuka (opendeur politiek) awal 1920an,  pemerintahan kolonial  membuka pintu investasi bagi bangsa lain nonBelanda ke  wilayah Hindia Belanda. Dan, derap opendeur politiek itu pun  tumbuh di zelfbestuur: Sultanaat Yogjakarta  –yang penuh selaksa makna.  Dari  bahasa Belanda, zelfbestuur artinya pemerintahan sendiri a.k.a berdaulat. ‘Zelfbestuur’,  judul pidato Haji Omar Said Tjokroaminoto  di Bandung (1916).

Dari politik modal terbuka itu menjadi  muasal  berseminya   perkebunan tebu dan pabrik gula di Yogja, sebut saja:  Pandokan, Pundong, Pleret, Barongan, Gesikan (Bantul), Demak Ijo, Salikan, Kalasan, Tanjung Tirto, Beran, Godean, Medari, Cebongan (Sleman), Sewugalur (Kulon Progo). Menyusul cuan  zaman keemasan gula Yogja, Belanda membangun  Kotabaru –di lahan yang sebelah timur Kali Code, sebelah utara stasiun Lempuyangan. Yogjakarta nyata bermakna Yogja yang kerta (artinya: makmur). Ngayogjakarta  nama yang diberikan Paku Buwono II, pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.

Baca Juga : PBG Jangan Hambat Perumahan MBR, Ini 5 Catatan Muhammad Joni

Dari Kotabaru,  Kemantren  Gondokusuman dari  hasil karya  arsitek    Thomas Karsten (1884-1945), lulusan Universitas Teknologi Delf  yang merantau ke Jawa dengan banyak karya penanda kerta tanah Jawa, saya membuat catatan perubahan. Proyek Kotabaru menandai  efek turunan  devisa gula yang membangun  kota.  Rancangan Karsten melengkapi Kotabaru yang berkonsep kota taman (garden city) dengan infrastruktur sosial  yang  diperuntukkan bagi  elit warga bangsa Eropa yang mendatangi manisnya hidup Yogja,  menyusul pembukaan  kebon tebu dan pabrik gula sehingga ekonomi berjaya dan kerta.  Pelaksanaan pembangunan digarap  Department van Sultanaat Werken yang dikomandoi Ir. L.V.R. Beekveld. Kiranya,  dari “gulanomics” maka ada “kotanomics” –yang kini lazim  disebut urban economics.

Menelisik musabab membangun Kotabaru, aha.., ada jejak imajiner menarik yang mirip dari tarikh  Jacob Nienhuys (dengan kolega Arabnya) yang merantau ke Deli,  membuka kebon tembakau, dan dibangunnya kota baru moderen. Interupsi sebentar.  Ini tambahan narasi. Nienhuys pengusaha  Belanda  pergi ke Deli  tahun 1862. Dia beruntung  mendapat konsesi tanah dari daulat zelfbestuur Sultan Deli (1863), mendirikan perusahaan de Deli Maatscapaij (1866),  hingga  berkembang  22 perusahaan kebon (1875).  Dan seterusnya,  akibat surplus devisa hasil kebon tembakau Deli yang berjuluk ‘pohon berdaun emas’ yang laris dengan harga tinggi di pasar Eropah.  Jurnalis-cum-lawyer Mr. J. van den Brant menerangkan  ‘De Millioenen uit Deli’ ke dalam (Deli Courant, 1902) dari sisi berlawanan dan minor; dari narasi ironik kuli kontrak.

Efek harumnya devisa tembakau, muncul  desakan kebutuhan hunian baru, maka dirancang dan dibangun kota baru  yang moderen bergaya Eropah. Itulah kota Medan sekarang, bung. Titik nol kota Medan bernama  Esplanade (sekarang Lapangan Merdeka) dibangun 1880an, dan tumbuh berbagai fasilitas insfrastruktur kereta api, bank, hotel, kawasan bisnis Kesawan,  rumah sakit  deli maatschapij yang dibangun moderen (1915). Medan menjadi kota bisnis yang harum ternama ke penjuru dunia melalui  bursa  tembakau Bremen di Jerman. Entah mengapa sekarang dikecilkan menjadi hanya ‘Kitchen of Asia’,  rumah sakit  tembakau deli berhenti operasi (2011), wajah kawasan Kesawan menua. Inikah gejala degeneratif  kota baru yang merenta, yang harumnya tak lagi  berkelanjutan?  Mencerna pola relasi tanah, tembakau dan kota itu, saya  mencatatkan postulat, bahwa: dari geliat perkebunan tembakau dibangunlah  kota baru;  dari harumnya “kebonomics” kepada cuan urban economic. Setangguh apa bertahan menjadi kota berkelanjutan?

Interupsi selesai.  Memori Yogja kembali datang.   Jejak  Kotabaru yang kini menjadi heritages cagar budaya provinsi itu masih ada. Tidak bisa diboyong   Belanda balik ke negeri bawah lautnya. Itu warisan benda yang nyata, bisa diraba, berstatus aset komunitas-subsider-benda tidak bergerak, dan menjadi “guru” sejarah, yang wujudnya antara lain: jaringan kereta api, listrik, telepon, kantor asuransi, perbankan, hotel, gereja, rumah sakit, dan sekolah.

Kausal ekonomi gula juga membuat aturan hukum.  Regulasi  pembangunan kota pun terbit dengan  Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 Tahun 1917 yang  terdiri dari 11 bab. Isinya   mengatur  pemberian lahan,  wewenang mendirikan  bangunan, jalan, taman beserta perawatannya dengan ketentuan yang diatur oleh pihak kasultanan.  Saya masih berjuang sengit untuk memperoleh naskah salinannya, mungkin pembaca bisa membantu Rijksblad 12/1917 itu. Karib saya Sami Kandha Dipura, akademisi di Yogja berjanji memburu dokumen sejarah Rijksblad  Kotabaru yang diduga kaya pelajaran hukum tata kota.

Rupanya aturan membangun wilayah dan tata kota sudah ada sejak zaman  Rijksblad.  Itu membuktikan rezim hukum penataan  kota sudah eksis lama, seperti halnya otoritas Hindia Belanda juga membuat SVO (Stadsvorming Ordonantie). Langkah mundur jika  Indonesia masih belum memiliki  UU Pembangunan Perkotaan.

Kotabaru itu dibangun selayaknya kota moderen dengan kawasan hunian-kota  Nieuwe Wijk yang  menyediakan akses  bulevar dan   jalan-jalan arteri. Situs magazijnen van orlog, saat ini beralih fungsi sebagai hunian namun bentuk bangunan kompi masih dipertahankan.

Arsitektur Kotabaru karya Karsten itu menyediakan fasilitas olahraga (kini  Stadion Kridosono),  fasilitas  sekolah Algemeene Middelbare School (AMS) (kini  SMA Negeri 3 Yogja), Christelijke MULO School (kini  SMA Bopkri 1). Juga, Normal School (kini  SMP Negeri 5) –yang berlabel  akronim Pawikitra (Panca Wiyata Bakti Karana) yang diramu dari  4 diksi  ini:  Panca  bermakna lima, Wiyata bermakna pendidikan, Bakti bermakna berbakti, dan Karana bermakna tempat. Kotabaru lengkap dengan fasilitas Rumah Sakit Petronella (kini Rumah Sakit Bethesda), dan lainnya.

Ohya, barusan saja  lokasi  Kotabaru Timur –yang berisi fasilitas transportasi, pendidikan, kesehatan, keagamaan, militer,  dan ruang terbuka hijau, yang terdiri 38,2  hektar dengan 13 Bangunan cagar Budaya– telah absah dilindungi sebagai  Cagar Budaya Peringkat Propinsi dengan terbitnya Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogjakarta Nomor 63/KEP/2023 tertanggal 1 Maret 2023 yang ditandatangani Hamengkubuwono X.

Beberapa situs Kotabaru itu sempat kami kunjungi, perlahan masuk melewati  Jalan Sunaryo (dulu Merapi Laan), ke Mesjid Syuhada,  menengok tepi Kali Code dari sisi Jalan Prau, berputar balik ke  pertigaan yang di sudutnya  mentereng restoran khas Jawa  House of Raminten  yang ramai sekali, agenda yang tak sempat disinggahi. Saya hanya berdiri,  karena ora  nekat dicap tak etis menerobos antrian pelanggan yang ramainya berkelanjutan.

Baca Juga : Andai Kota-Kota itu Bernyawa, Tak Cukup Transformasi 40 Kota

Dari jejak dan corak membangun Kotabaru dan Deli itu,  diperoleh  pelajaran  betapa  kota baru  terbit  karena ada geliat agroindustri: manisnya gula dan harumnya tembakau penghasil  devisa  yang menjulangkan  angka pertumbuhan ekonomi. Gula dan tembakau yang menjadi kausal  kota baru,  bukan sebaliknya membangun kota baru (ataupun ibukota baru) lebih dahulu, baru menyeru mengajak datang investor baru.  Ada gula maka ada kota. Beda dengan  ada kota maka ada gula.  Lantas, apa “gula” untuk harumnya 40 kota berkelanjutan? Berdiri di dekat House of Raminten  di pangkal Jalan Soenaryo, dalam diam saya  mengajukan satu pertanyaan saja:  “buya”, apa agenda menuntun perubahan kota bekelanjutan?

Dari kota merenta ke agenda perubahan kota

Majelis pembaca yang bersemangat.  Dari narasi itu,  pikiran awam saya berjalan ke data dan lanjut ke jemari. Ketika  jemari menghentakkan ketikan ini,   diam beberapa jenak, mengoreksi diksi, dan  mengulang hentakan baru demi kalimat  baru –yang mungkin saja goyah, banyak celah untuk dibantai, didesak, bahkan direpeti. Namun  dengan semangat seakan ‘No Limit’ bersiap  lapang akal  menampung kritikan, antitesis, pun wasangka,  demi memetik ranumnya buah pelajaran  hal-ikhwal perkim-perkotaan yang berkelanjutan.

Silakan melancarkan koreksi atas paragraf  berikut ini, bahwa:  kota-kota memang dibangun  (dan terbangun) karena dibutuhkan ataupun  tumbuh meruyak menjadi lingkungan baru, dengan atau tanpa (aturan) perencanaan urban  dan teritorial yang tumbuh mengkota, bagaikan organisme bernyawa di suburnya belantara kota. Yang di satu sisi menumbuhkan “gula”  dalam  geliat ekonomi urban, dan disisi lain  tak luput beban-beban angka demografi yang trennya meninggi, dan diserbu urbanisasi tak selalu produktif.

Namun otoritas kota tak bisa mengabaikan kebutuhan dasar, fasilitas sosial, dan pelayanan publik yang layak-terjangkau atas akses pekerjaan, perumahan, kesehatan,  lingkungan sehat, transportasi, pendidikan, indeks kebahagian warga kota yang naik kelas sampai No Limit, pun ruang bermain ramah anak, hijau dan terbuka yang lega-nyaman leluasa  bepergian ke mana saja bagai cerita “naik delman keliling kota”.

Namun, sekeras apapun beban yang ditanggung  kota yang mengkota  itu, tidak etis  jika diabaikan tanpa intervensi, apalagi ditinggalkan. Stagnan tanpa asa  keberlanjutan, tak ada UU Pembangunan Perkotaan, yang  seakan hendak membiarkan  kemunduran. Walau  kota-kota nyaris semua buatan era Hindia Belanda yang dirancang bagus, namun sahih  jika otoritas negara dengan sangat dan sengit mempertahankan kota-kota itu menjadi kota yang terus hidup elok dan berkelanjutan.

Tak elok  jika kota yang dibangun  hanya fisiknya namun alpa dengan  jiwa yang menyertainya,  karena itu  sahih jika kota dan daya dukungnya  dimaslahatkan dengan  agenda perubahan kota. Bukan membiarkannya  menjadi kota yang merenta,  terseok sarat beban, atau sekadar memformalkan beberapa situs  menjadi  heritages  cagar budaya  tanpa  sentuhan berkelanjutan. Yang  bernasib  lebih baik  sedikit  dari bangunan daripada  kota-kota lama  yang nyaris ditinggalkan tanpa status heritages, yang kalah  melawan minat otoritas kota menyukai kapital yang berhasrat  pada laba atas nama pendapat asli daerah, dan  membangun kawasan  baru lagi, walau hanya perkumpulan rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) sahaja.

Memotret Degeneratif Kota-Zelfbestuur

Pembaca, ijinkan tulisan  ini mengajak ke Langkat. Tengoklah  kota Tanjungpura, 60 kilometer dari Medan yang terkesan stagnan. Nyaris hanya menambah  ruko dan rukan yang  jauh dari ikhtiar terencana  meremajakan kota berkelanjutan. Padahal kota itu pernah jaya sebagai ibunegeri  zelfbestuur  Kesultanan Melayu Langkat –yang kaya hasil devisa tambang minyak mentah.

Di jantung kota itu, Masjid Azizi dan kampus maktab “puteh” Jamaiyah Mahmudiyah  didirikan tahun 1912 atau sepuluh tahun sebelum berdiri Taman Siswa  (1922). Kampus itu dinilai lebih hebat dari sekolah Belanda dan sekolah misionaris Jerman. Dari maktab  Jamaiyah itu telah mencetak jamak  tokoh nasional diantaranya penyair Tengku Amir Hamzah, mantan Wakil Presiden Adam Malik, pendiri ICMI Bang Imaduddin “Bang Imad” Abdul Rahim,  ahli fiqih Prof. Abdullahsyah.  Kota kecil yang ibu negeri Kesultanan Melayu Langkat  dahulu, bisa dibangun dari  surplus ekonomi karena devisa minyak bumi dan kebunnya. Bukan sebaliknya, membangun kota untuk mendatangkan devisa.

Ataupun periksalah  kisah kota minyak Pangkalan Brandan  menjadi kota yang terseok  karena tak berminyak lagi. Di kota  itu pernah terbangun kilang minyak paling mula dari sembilan kilang minyak di Indonesia.

Baca Juga : Mengulik Visi Capres 2024: Menimbang Kementerian Perkotaan mengurus Perumahan

Tahun 1883 ditemukan sumur  minyak pertama era sebelum kemerdekaan, tepatnya  di Telaga Said (kini Kecamatan Sei Lepan, 110 kilometer barat laut kota Medan). Kilang minyak itu kebetulan saja ditemukan warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, ahli perkebunan tembakau kompeni  Deli Tobacco Maatschappij. Bekerjasama dengan  perusahaan Belanda kala itu atas izin Sulthan Musa yang berkuasa di Kesulthanan Langkat.

Tahun 1891 mula diproduksi hasil minyak bumi dengan kontrak kerja Sulthan Musa dengan perusahaan Koninklijk Nederlandsche Maatschappij.

Kota minyak Pangkalan Berandan  –yang dulu dibawah zelfbestuur kesultanan Langkat— sempat berjaya dalam siklus kota tambang. Kota kecamatan itu memiliki padang golf Lagan Hill, kolam renang dan lapangan bola molek yang menjayakan Persatuan Sepakbola Langkat (PSL), sasana tinju kuda laut yang meroketkan petinju nasional. Fasilitas rumah sakit Pertamina  yang canggih dan lengkap dokter ahli. Pun fasilitas kesehatan, pendidikan, sosial dan infrastruktur lebih awal tersedia dibanding kota Medan. Gemilang kejayaan ekonomi kota minyak Pangkalan Berandan masih terkenang bagi sesiapapun warga Langkat yang juga merasakan pengaruh berkah kota minyak itu.

Bagaimanakah Pangkalan Berandan kini?  Julukan kota minyak kepada kota itu  tinggal kenangan. Kikisnya  aliran migas  dari perut bumi Langkat  membuat  Pertamina menutup unit pengolahan minyak di sana.  Hanya water treatment dan genset yang beroperasi disana, semua peralatan diposisikan dalam keadaan stand by. Perumahan karyawan  ditinggalkan tidak berpenghuni. Asetnya pun sudah dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang Cabang Medan. Warga lokal   menghibur diri secara satir, “Pangkalan Berandan Layak Miliki Museum Pertamina”, seperti dikutip media online Republika, 24/09/2014. Dua paragraf ini  menguncah emosi penulis yang pada masa kecil sempat menyaksikan  kejayaan kota dengan kilang minyak pertama di republik. Mungkin nasibnya  bak pepatah Melayu: “habis manis sepah dibuang”. Pergi devisanya, merenta kotanya.

Belajar dari tiga kota dari latar kebon, tambang dan zelfbestuur itu, maka perlu sentuhan  keadilan  perkotaan,  dalam desak perubahan perkotaan berkelanjutan. Kiranya, beralasan  merestorasi kota-kota yang berjasa dan milik Republik kini,   yang  daftarnya lebih banyak lagi dari  40 kota.

Namun atensi kepada perubahan 40 kota itu kabar keadilan untuk menghidupkan kota-kota. Agaknya bisa disusun  asumsi permulaan bahwa kota-kota –yang merenta  walau dulunya  kota-kota baru –yang manis, wangi, berminyak  dan  kerta-nya tumbuh moncer– menghadapi  dua kenyataan yang menindihnya.  Yaitu, di satu sisi kota disergap  omisionis atau pengabaian bahkan degeneratif  raga pun jiwa kota –yang  minus peremajaan dan perlindungan  cagar budaya, yang bahkan kerap  terbiar menjadi   kawasan kota yang menua.   Namun di sisi lain kota-kota itu dihimpit sengitnya agresifitas kapital merebut inci demi inci ruang-spasial demi kawasan probisnis,  dan  menjadi kota yang tumbuh mengkota  namun tumbuhnya acak tanpa corak, tanpa tuntunan  sang “buya” perkim-perkotaan. Beban dan tantangannya bukan hanya wajah kota, namun tubuh kota yang tumbuh sehat, dengan warga yang sehat, dengan lingkungan yang sehat, dengan kerta yang sehat, dengan kebijakan kota yang sehat.

Dengan modal SDGs pilar pembangunan lingkungan, utamanya tujuan  6,  11, 12, 13,  14, dan  15, misalnya: indikator layanan air minum yang dikelola secara layak, layanan sanitasi yang dikelola secara aman, proporsi limbah industri yang dikelola secara aman. Ataupun indikator,  misalnya: proporsi populasi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh, permukiman liar, atau rumah yang tidak layak huni; indikator akses hunian yang layak dan terjangkau, akses yang nyaman transportasi publik. Segenap indikator dari dokumen SDGs Indonesia itu merupakan perkakas kebijakan publik yang andal menjadi batu uji pencapaiannya,  karena itu  diperlukan transformasi dari tujuan, target, dan indikator  yang direalisasikan efektif  dalam delivery-nya. Dari dokumen ke pencapaian.

Membaca data misalnya hunian yang layak dan terjangkau dengan masih tingginya angka backlog  hunian (12,7 juta),  kawasan kumuh perkotaan dan rumah tidak layak huni, menjadi alasan  mendesakkan perubahan perkotaan berkelanjutan. Guna  menghindari kota yang diabaikan dan merenta, dengan  tubuhnya dibelah,  dagingnya dikerkah untuk  untuk  survival  kota dan hajat hidup warganya. Seperti metafora  sapi dalam sepotong pidato ‘Zelfbestuur’  dari Tjokroaminoto: “Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa”.

Agar kota-kota kita tidak dihisap tinggal hanya kulit tersisa, bijaksana jika mengambil alih  nasihat UN HABITAT  yang menyerukan integrasi   kesehatan  publik atawa  kesehatan perkotaan ke dalam kebijakan pengembangan urban dan territorial.   Problematika kesehatan perkotaan defacto lebih krusial daripada kesehatan masyarakat. Dan tentu saja kesehatan perkotaan memberi sumbangan penting bagi kesehatan perorangan.

Baca Juga : Muhammad Joni : BP Tapera Jangan Lakukan 7 Hal Ini !

Derajat kesehatan warga berkorelasi tinggi erat dengan kesehatan perkotaan. Derita sakit pernafasan (respiratory illnesses), infeksi, malaria, bahkan kanker, tuberculusis, pun COVID-19 adalah beberapa contoh penyakit menular yang menjadi pelajaran penting menjawab kesehatan perkotaan itu.

Seakan kota itu organisme bernyawa,  sang kota –as it is sebagai  ramuan kawasan buatan dan lingkungan alam–  yang butuh atas oksigen untuk bernafas dan  kesehatan dirinya. Karena itu, hak setiap orang (warga) yang hidup bersama dalam hunian tempat tinggal layak dengan  lingkungan sehat yang  secara teknis disebut  kota, memenuhi elemen ori dari hak konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Kiranya,  tidak keterlaluan jika  nekat menakwilnya  sebagai  “konstitusi perkotaan” –yang diulas dalam pada lain kesempatan.

Untuk menjawab  persoalan  kesehatan yang menghimpit perkotaan pun perumahan, maka pemerintah mestinya menyegerakan integrasi kebijakan kesehatan ke dalam  urban and  territorial planning. Agenda, respon,  kebijakan yang terserak  dan kerap  lamban  dalam eksekusi-delivery  patut  diangkat lebih tinggi dan menjadi bagian dari  pemenuhan amanat konstitusi perkotaan-cum-garis politik  perubahan perkotaan.  Dengan dua pangkalan itu,  maka   respon  dan   kebijakan –yang acap  rumit dalam eksekusi  berpeluang dimajukan.  Menjadi pangkalan perubahan perkotaan Indonesia forever,  ya.. pangkalan yang  meluncurkan  agenda  yang terkendala dalam delivery-nya, ya.. sebut saja apakah itu:  Santasi Perkotaan Beketahanan Iklim,  The Safer Cities Programme,  Sustainability the Cities and Communities, New Urban Agenda, city for all,  perumahan layak dan terjangkau,  rumah sehat produktif, pembiayaan perumahan yang terjangkau untuk semua –yang menjawab  pertanyaan satir ‘kapan punya rumah’. Kiranya terang benderang  narasi mengapa paragraf opini ini mendesakkan perubahan perkotaan berkelanjutan itu mandatori konstitusi yang diikat menjadi  direktif Presiden.

Merestorasi hak hidup kota berkelanjutan

Kring…,  kring…,  telpon selular saya berdering.  Panggilan dari Ketua The HUD Institute,  Zulfi Syarif Koto, sosok itu bagai “buya” penuntun untuk khazanah perkim-perkotaan. Sepanjang karier sebagai birokrat-cum-teknorat dan pasca kariernya dalam wadah The HUD Institute, diabdikan  untuk perkim-perkotaan.  Pak HUD  Zulfi yang fasih  bertutur soal perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan itu  adalah satu dari sosok disebalik inisiatif  UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Perumahan  dan Permukiman. Zulfi yang  tak kendur semangat tatkala “bertempur sengit” membela hak hunian kaum miskin papa dan masyarakat berpenghasian rendah (MBR).  Katanya, penting kolaborasi pemenuhan hak atas kebutuhan dasar rakyat atas hunian dalam transformasi pembangunan perkotaan, ketika kami mendiskusikan intervensi kebijakan kesehatan publik yang berarsiran dengan  public housing  ke dalam perencanaan kebijakan urban dan wilayah.

Tele-diskusi antara Ciputat-Yogja itu menajamkan agenda The HUD Institute meluncurkan klinik kesehatan perkotaan sebagai proyek piloting 2024 dan tasyakuran ke-13 tahun deklarasi The HUD Institute,  tanggal 14 Januari 2011.

Ini sekadar tambahan cacatan  perjalanan 13 tahun The HUD Institute yang  banyak perkembangan dalam auto-pertukaran pemikiran, pemajuan,  literasi dan ikhtiar advokasi kebijakan publik serta regulasi  perumahan dan pembangunan perkotaan yang terus menerus menghadapi tantangan yang perlu dijawab dengan transformasi tata kelola.  Termasuk  surplus  pengalaman berharga tatkala memerangi  pendemi COVID-19 yang memberi hikmah dan ketangguhan  jurus dan kebijakan  serta pengelolaan  urusan perumahan dan perkotaan berbasis data dan bukti, sehinga patut mengintegrasikan  kebijakan  public health dan public housing ke dalam perencanaan urban dan teritorial menjadi agenda  transformasi perkotaan.

Gagasan dan terobosan pemikiran pentingnya mengintegrasikan public housing dan public health termasuk public transportation ke dalam paradigma  transformasi  perkotaan sudah disodorkan The HUD Institute mengenai  ‘Rumah Sehat Produktif’ yang patut dikembangkan.

Kembali ke tele-diskusi dengan Pak HUD. Membayangkan  persenyawaan  publik antara  housing, health, dan lainnya ke aras urban, sontak  pikiran saya bergetar. Bola mata saya  bersinar  memulai debut  kolaborasi   antara  kesehatan, perumahan, dan perkotaan yang absah dan strategis karena termasuk trio urusan konkuren pelayanan kebutuhan dasar yang melekat pada pemerintah dan pemerintah daerah  dalam kerangka UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Saya sempat membaca dokumen 2020 bertitel: ‘Integrating health in urban and territorial planning’, yang diterbitkan  kolaborasi UN HABITAT dan WHO, dan mengamini postulat WHO bahwa: ‘The most important asset of any city is the health of its people’.  Eureka, semua kota kudu dilayakkan, apapun jenis dan tipenya, bukan hanya 40 kota-kota saja.

Baca Juga : Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau, Bersungguh Mengisi Air Sampai Penuh

Majelis pembaca. Nilai kota-kota itu terlalu berharga  bagi  Wiyata, Bakti, dan Karana kehidupan kota manusia. Dan, tempat melekatkan ingatan dan tetirah  sejarah perjuangan kota. Tersebab kota  bukan hanya hunian, namun  tamadun kemanusiaan. Bijaksana jika menjadikannya  agenda  perubahan kota berkelanjutan yang analog New Urban Agenda.  Dengan bekal kausal halal negara dan dalil “konstitusi kota”, mengapa tidak  mendesakkan kebijakan perubahan itu? Tentu dengan menyediakan semacam “opendeur politiek”  ruang fiskal APBN  bagi infrastruktur dasar dan fasilitas publik  penyangga  kelayakan dan kesehatan kota, dengan menggeser  sedikit  fokus  infrastruktur komersial  padat modal yang masih bisa ditunda. Berikut  investasi  komersial  a.k.a kerjasama pemerintah badan usaha (KPBU), public-private-partnership  sebagai gulanya, tentu dalam takaran  yang sehat,  model bisnis yang terkendali demi menjaga indeks kemahalan kota  yang bisa memangsa warga tidak tinggi daya bayarnya.

Itu ikhtiar menjadikan kota-kota publik  sebagai kota manusia, bukan kota kera  yang bengis dan otoriter dengan  kelakuan Proximus turunan Caesar kepada species manusia  dalam   film ‘Kingdom of the Planet of the Apes’.  Sebagai  metafora  “tuan kota” yang merebut ruang spasial, memakan tanah komunal,   msngacak ruang sosio-kultural  sehingga tersaringnya warga  pendahulu kota: native-born citizen, pun tersisihnya migran yang tak berdaya. Bukankah  kota publik bertugas  memberdayakan warga dan mengemban misi  kota  berkelanjutan,  bukan  kota yang kelebihan beban –seperti penyebab tenggelamnya kapal  Van der Wijk.

Beranjak dari kota untuk semua, saatnya  merestorasi kota-kota milik republik yang merenta, menjadi perubahan  perkotaan berkelanjutkan. Membela  hak kota untuk terus hidup, tumbuh, berkembang –dalam Negara Republik  Indonesia Forever!  Tak elok  pergi  membiarkan  kota-kota yang berjasa itu merenta, bagai pepatah  habis manis sepah dibuang. Tahniah hari jadi ke-13 The HUD Institute, terlahir untuk menuntun kesejahteraan perumahan dan perkotaan.  Tabek.

*) Muhammad Joni, S.H., M.H., Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute; Advokat Law Office Joni & Tanamas; Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) 2022-2026, penulis buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ (2018), dan ‘Ayat-Ayat Kolaborasi Jakarta Habitat’ (2022), opini ini pendapat pribadi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkini